BAB 6 ADAB DAN ETIKA MEMBACA AL-QUR’AN II
Masalah ke-54:
Masalah-masalah
aneh yang perlu diketahui. Di antaranya ialah apabila membaca surat, kemudian
anging mengganggunya (menguap), maka hendaklah dia menghentikan bacaanya hingga
sempurna keluarnya, kemudian kembali membaca. Demikianlah yang diriwayatkan
oleh Ibnu Abu Dawud dan lainnya dari Atha’ dan itu adalah adab yang baik.
Diantaranya
ialah apabila seseorang menguap, dia hentikan bacaannya hingga selesai menguap,
kemudian meneruskan bacaan. Mujahid berkata: “Itu adalah baik.”
Diriwayatkan
dari Abu Said Al-Khudri ra, Katanya: Rasulullah saw bersabda:
Terjemahan:
“Jika seseorang dari kamu menguap, hendaklah dia menutup mulutnya dengan
tangannya karena syaitan akan masuk.” (Riwayat Muslim)
Diantaranya
apabila membaca Firman Allah ‘Azza wa Jalla:
Terjemahan:
“Kaun Yahudi berkata: ‘Uzair putera Allah swt’ dan kaum Nasrani berakata,
‘Al-Masih putera Allah swt.” (QS At-Taubah 9:30)
Terjemahan:
“Dan kaum Yahudi berkata: Tangan Allah swt terbelnggu.” (QS Al-Maidah 5:64)
Terjemahan:
“Dan mereka berkata: Tuhan Yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak…”
(QS Maryam 19:88)
Dan
ayat-ayat lain yang seumpama itu. Maka hendaklah dia memperlahankan suaranya
ketika membacanya. Demikianlah yang dilakukan oleh Ibrahim An-Nakha’ ra.
Di
antaranya ialah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Dawud dengan isnad dhaif dari
Asy-Sya'b’ bahwa dikatakan kepadanya, jika manusia membaca:
Terjemahan:
“Sesungguhnya Allah swt dan para malaikat-Nya bersholawat kepada Nabi.” (QS Al-Ahzab
33:56)
Dia
pun mengucapkan sholawat untuk Nabi saw Asy-Sya’bi menjawab: “Ya”.
Diantaranya
ialah disunahkan baginya mengucapkan apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurtairah
ra daripada Nabi saw bahwa Baginda bersabda:
Terjemahan:
“Barangsiapa membaca (Wattiini waz-zaituuni) dan sehingga pada (Alaisa Allah
swtu bi ahkamil haakimiin), hendaklah dia mengucapkan: Balaa wa ana ‘alaa
dzaalika minays-syaahidiin.” (Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi, dengan isnad
dhaif)
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah ra. Tirmidzi berkata: “Hadits ini diriwayatkan dengan isnad
ini, dari orang badui dari Abu Hurairah.” Dia berkata: “Dan tidak disebut
namanya.”
Ibnu
Abi Dawud dan lainnya meriwayatkan dalam hadits ini, sebagai tambahan riwayat
Abu Dawud dan Tirmidzi:
Terjemahan:
“Barangsiapa membaca akhir surat Al-Qiyamah, (Alaisa dzaalika bi qaadirin ‘alaa
an yuhyiya al-nautaa), hendaklah dia mengucapkan: ‘Balaa wa ana asyhadu’. Dan
Barangsiapa membaca (Fa bi ayyi hadiithin ba’dahu yu’minuun), hendaklah dia
mengucapkan, ‘Aamantu billahi.”
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas ra, Ibnu Zubair dan Abu Musa AlAsy’ari’ra bahwa apabila
seseorang dari mereka membaca: Sabbihisma rabbikal a’laa mereka mengucapkan
Subhaan Rabbiyal A’laa (Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi). Diriwayatkan dari
Umar Ibnu Khattab ra bahwa dia mengucapkan pada ayat itu Subhaana Rabbiyal
a‘laa tiga kali. Diriwayatkan dari pada Abdullah bin Mas’ud ra bahwa dia
sembahyang dan membaca akhir surat Bani Israil. Kemudian dia ucapkan
Alhamdullilahi ladzii lam yattakhidz waladan.
Salah
seorang sahabat kami telah menyebut bahwa sunah mengucapkan dalam sembahyang
apa yang telah kami kemukakan dan dalam hadits Abu Huarairah berkenaan dengan
ketiga surat itu. Demikian jugalah disunahkan mengucapkan lainnya dari yang
kami sebutkan dan yang semakna dengannya. Wallahua’lam.
Masalah ke-55:
Bacaan
Al-Qur’an yang dimaksudkan sebagai Kalam. Ibnu Abi Dauwd menyebutkan adanya
perselisihan berkenaan dengan hal ini. Diriwayatkan dari Ibrahim An-Nakha’I ra
bahwa dia tidak suka membaca Al-Qur’an dengan tujuan urusan dunia.
Diriwayatkan
dari Umar Ibnu Khattab ra bahwa dia membaca dalam sembahyang Maghrib di Mekah,
(Wattini waz zaituuni) dan menguatkan suaranya dan berkata, (Wa haadzal baladil
amiini). Diriwayatkan dari Hukaim bin Sa’ad bahwa seorang lelaki dari
Al-Muhakkamati datang kepada Ali yanbg sedang menunaikan sembahyang Subuh,
kemudian berkata, Lain asyrakta layahbathanna amaluka (jika kamu
mempersekutukan-Tuhanniscaya akan sia-sialah amalmu. (QS Ar-Ruum 30:60). Maka
Ali menjawabnya dalam sembahyang:
Terjemahan:
“Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah swt adalah benar dan
sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat
Allah swt itu menggelisahkan kamu).” (QS Ar-Ruum 30:60)
Para
sahabat kami mengatakan, apabila seorang manusia minta izin masuk kepada orang
yang sedang sembahyang, kemudian orang yang sembahyang itu mengatakan:
“Udkhuluuha bi salaamin aaminiin (Masukkal kamu dengan selamat dan aman), maka
jika dia maksudkan pembacaan ayat atau membaca ayat dan pemberitahuan, tidaklah
batal sembahyangnya. Jika dia mekasudkan mmeberitahu dan tidak ada niat membaca
ayat, batallah sembahyangnya.
Masalah ke-56:
Jika
dia membaca sambil berjalan, kemudian melalui sejumlah manusia, diutamakan
memutuskan bacaan dan memberi salam kepada mereka, kemudian melanjutkan
bacaannya. Jika dia mengulangi ta’awwudz, maka perbuatan itu lebih baik.
Sekiranya membaca sambil duduk, kemudian ada orang lalu di depannya, maka
dikatakan oleh Imam Abul Hasan AlWahidi: “Pendapat yang lebih utama adalah
tidak memberi salam kepada pembaca Al-Qur’an karena dia sibuk membaca.”
Dan
jika berkata: “Jika seseorang memberi salam kepadanya, cukuplah dia menjawab
dengan isyarat.” Masih menurut Abu Hasan, “Jika ingin menjawab dengan lafaz
salam, dia bisa menjawabnya kemudian dia mulai membaca isti’adzah dan
meneruskan bacaannya.”
Pendapat
yang dikemukakan itu lemah. Hal yang jelas adalah kewajiban menjawab lafaz.
Para sahabat kami berkata: “Jika orang yang masuk memberi salam pada hari
Jumaat dalam keadaan imam berkhutbah, sedangkan kami mengatakan bahwa diam
adalah sunah, maka wajiblah ke atasnya menjawab salam menurut pendapat yang
lebih sahih di antara dua pendapat. Jika mereka katakan bahwa ini adalah dalam
keadaan Khutbah, sedangkan terdapat perselisihan berkenaan dengan kewajiban
diam dan pengharaman berbicara, maka dalam keadaan pembacaan yang tidak haram
berbicara di dalamnya berdasarkan ijmak adalah lebih utama di samping hukum
menjawab salam adalah wajib.” Wallahua’lam.
Sementara
itu, jika dia bersin dalam keadaan membaca, maka diutamakan mengucapkan,
“Alhamdulillah”. Demikian pula halnya di dalam sembahyang. Sekiranya orang lain
bersin sedang dia membaca Al-Qur’an di luar sembahyang dan orang itu
mendoakannya dengan mengatakan “Yarhamukallah.”
Sekiranya
pembaca Al-Qur’an mendengar Adzan, dia hentikan bacaannya dan menjawabnya
dengan mengikutinya mengucapkan lafaz-lafaz adzan dan iqamat, kemudian dia
kembali kepada bacaannya. Ini disetujui oleh para sahabat kami.
Jika
dia orang punya keperluan dengannya, sedangkan dia dalam keadaan membaca
Al-Qur’an dan memungkinkan baginya untuk menjawab orang yang bertanya dengan
isyarat yang dapat difamahmi dan dia yakin bahwa hal itu tidak mengecewakan
hatinya dan tidak mengganggu hubungan antara keduanya, maka sebaiknya dia
menjawabnya dengan isyarat dan tidak menghentikan bacaan. Jika dia
menghentikannya, maka hal itu diharuskan. Wallahua’lam.
Masalah ke-57:
Jika
datang kepada pembaca Al-Qur’an orabg yang berilmu atau terhormat atau orang
tua yang terpandang atau mereka miliki kehormatan sebagai pemimpin atau
lainnya, maka tidaklah mengapa berdiri untuk menghormati DAN memuliakannya,
bukan karena riya dan membanggakan diri. Bahkan perbuatan itu mustahab (sunah).
Berdiri sebagai penghormatan adalah termasuk dari perbuatan Nabi saw dan
perbuatan para sahabatnya di hadapan beliau dan dengan perintahnya, serta
perbuatan para tabi’in dan ulama yang sholeh setelah mereka.
Telah
saya kumpulkan sebagian tentang berdiri dan saya sebutkan di dalamnya
hadits-hadits dan athar-athar berkenaan dengan sunahnya dan yang melarangnya.
Saya jelaskan kelemahan riwayat yang lemah dan kesahihan riwayat yang sahih
daripadanya. Saya sebutkan pula jawaban tentang sangkaan adanya larangan atas
hal itu, padahal tiada larangan di dalamnya.
Saya
jelaskan semua itu dengan memuji Allah maka siapa yang meragukan sesuatu dari
hadits-haditsnya, hendaklah dia mempelajarinya, niscaya dia dapati keterangan
yang menghilangkan keraguannya, insya Allah.
Masalah ke-58:
Hukum-hukum
berharga yang berkaitan dengan membaca Al-Qur’an dalam sembahyang. Saya
sampaikan pembahasan ini secara ringkas karena cukup mansyur dalam kitab-kitab
fiqh. Di antaranya wajib membaca AlQur’an dalam sembahyang fardhu berdasarkan
ijmak ulama. Kemudian Malik, Imam Asy-Syafi’i, Ahmad dan mayoritas ulama
berpendapat, diwajibkan membaca Al-Fatihah dalam setiap rakaat. Abu Hanifah dan
jamaah berkata, “Tidak diwajibkan membaca Al-Fatihah untuk selamanya.” Dan
katanya: “Tidak wajib membaca Al-Fatihah dalam dua rakaat terakhir.” Pendapat
yang lebih benar adalah pendapat pertama. Banyak dalil dari Sunnah yang
menyokong pendapat itu. Cukuplah memahami sabda NabI saw dalam hadits sahih:
Terjemahan:
“Tidak memadai (sah) sembahyang yang tidak dibaca AlFatihah di dalamnya.”
Mereka
sependapat atas sunahnya membaca surat sesudah Al-Fatihah dalam dua rakaat
sembahyang Subuh dan dua rakaat pertama dari sembahyang-sembahyang lainnya.
Mereka berlainan pendapat tentang anjuran membacanya pada rakaat ke tiga dan
keempat. Menurut Imam AsySyafi’i ada dua pendapat tentang hal itu. Menurut
madzhab baru (aqaul jadid) ialah tidak disunahkan dan menurut madzhab lama
(qaul qadim) disunahkan.
Para
sahabat kami mengatakan, jika kami katakan bahwa ahl itu disunahkan, maka tiada
perselisihan bahwa pembacaannya tidak lebih dari pembacaan dalam dua rakaat
pertama. Mereka berpendapat bahwa pembacaan pada rakaat ketiga dan rakaat
keempat adalah sama. Apakah pembacaan pada rakaat pertama lebih panjang
daripada rakaat kedua? Maka ada dua pendapat berkenaan dengan perkara tersebut.
Pendapat yang lebih kuat (sahih) diantara keduanya menurut mayoritas sahabat
kami adalah tidak lebih panjang. Pendapat kedua, yaitu yang sahih menurut para
pengkaji adalah lebih panjang.
Itulah
pendapat yang terpilih berdasarkan hadits sahih:
Terjemahan:
“Bahwa Rasulullah saw lebih memanjangkan bacaan pada rakaat pertama dari pada
rakaat kedua.”
Faedahnya
ialah supaya orang yang tertinggal bisa mendapat rakaat pertama. Wallahua’lam.
Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan, apabila makmum masbuq mendapati dua rakaat
terakhir dari sembahyang Zuhur dan lainnya bersama imam, kemudian dia kerjakan
dua rakaat baginya, maka diutamakan baginya membaca Surat. Mayoritas sahabat
kami berkata demikian ini atas dua pendapat. Setengah dari mereka berkata, ini
menurut pendapat yang menganjurkan pembacaan surat dalam dua rakaat terakhir.
Manakala menurut lainnya tidaklah diutamakan. Pendapat yang lebih benar adalah
pendapat pertama supaya sembahyangnya tidak kosong dari surat. Wallahua’lam.
Ini
hukum imam dan orang yang sembahyang sendiri. Sementara makmum, maka jika
sembahyangnya pelan bacaannya, wajiblah dia membaca Al-Fatihah dan diutamakan
baginya membaca surat. Jika sembahyang itu bacaannya keras, sedang dia
mendengar bacaan imam, tidaklah disukai baginya membaca surat.
Adapun
tentang kewajiban membaca Al-Fatihah ada dua pendapat. Pendapat yang lebih kuat
(sahih) adalah wajib dan pendapat kedua tidak wajib. Jika tidak mendengar
bacaan imam, maka yang sahih adalah wajib membaca Al-Fatihah dan diutamakan
membaca surat. Tidak dinafikan memang ada orang yang berpendapat wajib membaca
Al-Fatihah da tidak sunah membaca Surat. Wallahua’lam.
Wajib
membaca Al-Fatihah pada rakaat pertama dari sembahyang jenazah. Manakala
membaca Al-Fatihah dalam sembahyang nafilah, maka mesti dilakukan. Para sahabat
kami berlainan pendapat berkenaan dengan penanamannya dalam sembahyang.
Al-Qaffal berkata, dia dinamakan kewajiban. Kawannya Qadhi Husain berkata, dia
dinamakan syarat.
Orang
lainnya berkata, dia dinamakan rukun dan itulah yang benar. Wallahua’lam.
Orang
yang tidak mampu membaca Al-Fatihah dalam semua ini maka hendaklah dia
menggantinya dengan membaca ayat-ayat yang setara dengannya dari Al-Qur’an.
Jika tidak mempu membaca sesuatu, dia berdiri sekedar lamanya bacaan Al-Fatihah
kemudian rukuk. Wallahua’lam.
Masalah ke-59:
Tidaklah
mengapa jika menggabungkan dua surat dalam satu rakaat. Mengikut riwayat yang
terdapat di dalam shahihain (Bukhari dan Muslim) dari hadits Abdullah bin
Mas’ud ra, katanya: “Aku telah mengetahui suratsurat dimana pernah Rasulullah
saw menggabungkannya. Dia menyebut dua puluh surat dari Al-Mufashshal, setiap
dua surat dalam rakaat. Telah kami kemukakan dari jamaah Salaf pembacaan
berkhatam dalam satu rakaat.
Masalah ke-60:
Para
Ulam muslim sependapat atas sunahnya membaca dengan suara kuat dalam sembahyang
Subuh, Jumaat, dua hari raya dan dua rakaat dari sembahyang Maghrib dan Isyak,
sembahyang Tarawih dan Witir sesudahnya. Ini adalah mustahab bagi imam dan
orang yang sembahyang sendirian. Sementara makmum, maka ia tidak menguatkan
suaranya sesuai dengan ijmak. Sunah membaca dengan suara kuat dalam sembahyang
gerhana bulan dan tidak membaca dengan keras dalam sembahyang gerhana Matahari,
membaca dengan keras dalam sembahyang Istisqa’ (minta hujan) dan tidak membaca
dengan suara kuat dalam sembahyang jenazah, jika sembahyangnya berlangsung pada
waktu siang, demikian jugalah di malam hari menurut madzhab yang sahih dan
terpilih.
Tidak
membaca dengan suara kuat dalam sembahyang nawafil siang hari kecuali
sembahyang Hari Raya dan Istisqa’. Para sahabat kami berlainan pendapat
berkenaan dengan sembahyang nawafil(sunah) di malam hari. Pendapat yang lebih
tepat adalah tidak membaca dengan suara kuat. Pendapat kedua membaca dengan
suara kuat. Pendapt ketiga, yaitu yang lebih sahih dan didukung bersama oleh
Al-Qadhi Husain dan Al-Baghawi ialah membaca antara kuat dan pelan.
Sekiranya
tertinggal sembahyang pada waktu malam, kemudian dia mengqadhanya pada waktu
siang atau tertinggal pada waktu siang dan mengqadahnya di malam hari, sama
saja dikira dalam bacaan kuat dan bacaan pelan waktu yang tertinggal itu
ataukah waktu qadha?
Berkenaan
dengan perkara tersebut ada dua pendapat dari pada sahabat kami. Pendapat yang
lebih tepat adalah dikira waktu qadha.
Sekiranya
membaca dengan kuat di tempat bacaan pelan atau membaca dengan pelan di tempat
bacaan kuat, maka sembahyangnya sah, tetapi melakukan perbuatan yang makruh dan
tidak sujud karena lupa.
Ingatlah
bahwa bersuara pelan dalam mereka membaca Al-Qur’an, takbir dan dzikir-dzikir
lainnya adalah dengan mengucapkannya sehingga terdengar oleh dirinya dan mesti
diucapkan kalau pendengarannya sehat dan tidak ada penghalangnya. Jika dirinya
tidak mendengar bacaannya, maka tidak sah bacaannya ataupun dzikir-dzikir
lainnya tanpa ada perselisihan.
Masalah ke-61:
Para
sahabat kami berkata, disunahkan bagi imam dalam sembahyang yang kuat bacaannya
agar diam empat kali dalam keadaan berdiri.
1.Diam
sesudah takbiratul ihram untuk membaca doa tawajjuh dan para makmum membaca
takbir.
2.Sesudah
Al-Fatihah diam sebentar saja antara akhir Al-Fatihah dan uacapanm Aamiin
supaya tidak timbul sangkaan bahwa Aamiin termasuk Al-Fatihah
3.Diam
lama setelah mengucapkan Aamiin.
4.Setelah
membaca surat untuk memisahkan dengannya antara pembacaan surat dan takbir
untuk melakukan rukuk.
Masalah ke-62:
Disunahkan
bagi setiap pembaca, sama saja dalam sembahyang atau di luar sembahyang, jika
selesai membaca Al-Fatihah agar menguacapkan Aamiin. Hadits-hadits berkenaan
dengan perkara tersebut banyak dan mansyur. Telah kami kemukakan dalam bab
sebelumnya bahwa disunahkan memisahkan antara akhir Al-Fatihah dan ucapan
Aamiin dengan diam sebentat. Aamiin artinya: “Ya Allah, kabulkanlah. Tidak
dinafikan memang ada orang yang berpendapat, “Demikianlah, maka jadilah.”
Ada
orang yang berpendapat, lakukanlah. Ada orang yang berpendapat artinya tidak
ada seorangpun yang dapat melakukan ini selain Engkau.
Tidak
dinafikan memang ada orang yang berpendapat artinya “Jangan sia-siakan harapan kami.”
Ada orang yang berpendapat, artinya adalah “Ya Allah, selamatkanlah kami dengan
kebaikan.” Ada orang yang berpendapat, ia pelindung dari Allah swt untuk
hamba-hamba-Nya dengan menolak berbagai bencana dari mereka. Ada orang yang
berpendapat, ia adalah derajat di Syurga yang dianugerahkan kepada siapa yang
mengucapkannya. Ada orang yang berpendapat, ia adalah salah satu nama Allah swt
Para pengkaji menolak pendapat ini. Ada orang yang berpendapat, ia adalah nama
Ibrani yang tidak diarabkan. Abu Bakar Al-Warraq berkata, ia adalah kekuatan
untuk berdoa dan permintaan turunnya rahmat. Ad orang yang berpendapt selain
itu.
Terdapat
beberapa cara mengucapkan Aamiin. Para ulama berkata, yang paling fasih adalah
Aamiin dengan memanjangkan Hamzah dan meringankan mim, cara kedua dengan
memendekkannya. Kedua pendapat ini mansyur. Cara ketiga dengan imaalah diserta
mad. Al-Wahidi menceritakan hal itu dari Hamzah dan Al-Kisaa’i. Cara keempat
dengan tasydid pada mim disertai mad. Al-Wahidi menceritakannya dari Al-Hasan
dan Al-Husain bin Al-Fudhail.
Katanya:
itu ditegaskan oleh apa yang diriwayatkan dari Jaafar AshShidiq ra, katanya:
Artinya adalah kami menuju kepada-Mu sedang Engkau Maha Pemurah hingga tidak
menyia-nyiakan orang yang menuju. Ini pendapat Al-Wahidi. Cara keempat ini
asing sekali. Kebanyakan ahli bahasa menganggapnya sebagai kesalahan ucapan
dari golongan orang awam.
Sebagian
dari sahabat kami berpendapat, barangsiapa mengucapkan cara keempat, batallah
sembahyangnya. Ahli bahasa Arab berkata, haknya dalam bahasa Arab adalah waqaf
(berhenti) karena kedudukannya seperti suara. Jika disambung, huruf nuun diberi
harakat fathah karena adanya pertemuan dua sukun sebagaimana dia diberi harakat
fathah pada Aina dan Kaifa, maka tidak diberi harakat kasrah karena beratnya
bacaan kasrah sesudah ya’. Inilah penjelasan yang berkaitan dengan lafaz
Aamiin.
Saya
telah menjelaskan hal itu dengan banyak bukti dan pendapat tambahan dalam kitab
Tahdziibul Asmaa’ wal Lughaat.
Para
ulama berkata, diutamakan mengucapkan Aamiin dalam sembahyang bagi imam, makmum
dan orang yang sembahyang sendirian. Imam dan orang yang sembahyang sendirian
membaca Aamiin dengan suara kuat dalam sembahyang yang jahar bacaannya. Mereka
berlainan pendapat berkenaan dengan bacaan kuat oleh makmum. Pendapat yang
sahih ialah membaca dengan suara kuat. Pendapat kedua tidak membaca dengan
suara kuat. Pendapat ketiga membaca dengan suara kuat jika banyak jumlahnya.
Kalau tidak banyak, maka tidak membaca dengan kuat. Ucapan Aamiin oleh makmum
bersamaan dengan ucapan Aamiin oleh imam, tidak sebelumnya ataupun sesudahnya
sesuai dengan sabda Nabi saw dalam hadits sahih:
Terjemahan:
“Jika imam mengucapkan ‘Wa ladhdhaalliin,’ ucapkanlah ‘Aamiin’ karena
barangsiapa yang ucapan ‘Aamiin’nya bertepatan dengan ucapan ‘Aamiin’ para
malaikat, maka Allah mengampuni dosanya yang terdahulu.”
Manakala
sabda Nabi saw dalam hadits sahih: “Jika imam mangucapkan Aamiin, maka
ucapkanlah Aamiin.” Artinya ialah apabila ingin mengucapkan Aamiin.
Para
sahabat kami berkata, tidak ada dalam sembahyang suatu tempat yang diutamakan
agar ucapan makmum bersamaan dengan ucapan imam, kecuali dalam ucapan Aamiin.
Sementara dalam ucapan-ucapan lainnya, maka ucapan makmum datang kemudian
setelah imam.
Masalah ke-63:
Sujud
Tilawah. Para ulama sependapat atas perintah melakukan Sujud Tilawah. Mereka
berlainan pendapat sama saja perintah itu merupakan sunah atau wajib?
Majoriti
ulama mengatakan, tidak wajib, tetapi mustahab (sunah). Ini pendapat Umar Ibnu
Al-Khattab ra, Ibnu Abbas, Imran bin Hushairi, Malik, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i,
Ahmad, Ishaq, Abu Tahur, Dawud dan lainnya.
Abu
Hanifah rahimahullah berkata, hukumnya wajib. Dia berhujah dengan firman Allah
swt:
Terjemahan:
“Mengapa mereka tidak beriman. Dan apabila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka,
mereka tidak bersujud.” (QS Al-Insyiqaaq 84:20-21)
Majoriti
ulama berhujah dengan hadsi sahih dari Umar Ibnu AlKhattab ra, “Bahwa dia
membaca di atas mimbar pada hari Jumaat surat AnNaml hingga sampai ayat
sajadah, dia turun kemudian sujud dan orang lain pun sujud. Sehingga pada hari
Jumaat berikutnya dia membacanya hingga tiba pada ayat sajadah, katanya: ‘Wahai
para manusia. Sesungguhnya kita melalui tempat sujud, maka barangsiapa yang
sujud, dia telah melakukan sesuatu yang benar. Dan siapa yang tidak sujud, dia
tidak berdosa,’ dan Umar tidak sujud.” (Riwayat Bukhari)
Perbuatan
dan perkataan Umar ra di majelis ini adalah dalil yang jelas.
Sementara
jawaban terhadap ayat yang dijadikan hujjah oleh Abu Hanifah ra adalah jelas
karena yang dimaksud adalah mencela mereka yang meninggalkan sujud sebagai
ungkapan pendustaan, sebagaimana firman Allah swt sesudahnya:
Terjemahan:
“Bahkan orang-orang kafir itu mendustakan (nya)” (QS Al-Insyiqaaq 84:22)
Diriwayatkan
dalam Shahihain dari Zaid bin Thabit ra. “bahwa dia membca di hadapan Nabi saw.
‘Wa-Najmi’ dan beliau tidak sujud.”
Diriwayatkan
dalam Shahihain “bahwa Nabi saw sujud ketika membaca surat An-Najm.” Maka semua
itu menunjukkan bahwa Sujud Tilawah tidak wajib.
Masalah ke-64:
Penjelasan
tentang jumlah Sujud Tilawah dan tempatnya. Manakala jumlahnya sebagaimana
dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i rahimahullah danm mayoritas ulama adalah 14
sajadah, yaitu: Surat Al-A’raaf, Ar-Ra’ad, AnNahl. Al-Israa’, Maryam, dalam
surat Al-Hajj ada dua sujud, Al-Furqan, AnNaml, Alif Laam Tanziil, Haa Mim
As-Sajadah, Al-Insyiqaaq dan Al-‘Alaq.
Sementara
sajadah dalam surat Shaad, maka hukumnya mustahab dan tidak ditekankan untuk
melakukan sujud. Diriwayatkan dalah Shahih Muslim dari Ibnu Abbas ra, katanya:
“Sajadah dalam surat Shaad bukanlah sujud yang ditekankan dan aku telah melihat
Nabi saw sujud pada ayat itu. “Ini adalah madzhab Asy’Asy-Syafi’i dan orang
yang berpendapat seperti dia.
Abu
Hanifah berkata, jumlahnya ada 14 sajadah, tetapi dia menggugurkan sajadah kedua
surat Al-Hajj dan menetapkan sajadah dalam surat Shaad serta menjadikannya
sebagai sajadah yang diharuskan sujud. Diriwayatkan dari Ahmad ada dua riwayat.
Yang satu seperti Asy’Asy-Syafi’i dan yang kedua ada 15 sajadah dengan tambahan
dalam surat Shaad. Ini adalah pendapat Abul Abbas bin Syuraih dan Abu Ishaq
Al-Marzuki dari pengikut Asy-Syafi’i dan paling terkenal dari keduannya adalah
11 sajadah. Dia menggugurkan sajadah dalam surat An-Najm, Al-Insyiqaaq dan Al-
‘Alaq.
Ini
adalh pendapat lama dari Asy-Syafi’i dan yang sahih adalah apa yang kami
kemukakan. Hadits-hadits yang sahih menunjukkan hal itu. Manakala tempat Sujud
Tilawah terdapat pada:
1. Akhir
Surat Al-A’raf:
Terjemahan:
“Sesungguhnya malaikat-malaikat yang disisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan
menyembah Allah swt dan mereka mentasbihkanNya dan hanya kepada-Nyalah mereka
bersujud.” (QS Al-A’raf 7:206)
2. Dalam
surat Ar-Ra’d ialah sesudah firman Allah ‘Azza wa Jalla:
Terjemahan:
“… pada waktu pagi dan petang hari.” (QS Ar-Ra’d 13:15)
3. Dalam
surat An-Nahl:
Terjemahan:
“…dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).” (QS An-Nahl 16:50)
4. Dalam
Al-Israa’:
Terjemahan:
“… dan mereka bertambah khusyuk.” (QS Al-Israa’ 17:109)
5. Dalam
Surat Maryam:
Terjemahan:
“… maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangsis.” (QS Maryam 19:58)
6. Sajadah
pertama dari surat Al-Hajj ialah:
Terjemahan:
“…Sesungguhnya Allah swt berbuat apa yang dia kehendaki.” (QS Al-Hajj 22: 18)
7. Sajadah
kedua dalam surat Al-Hajj:
Terjemahan:
“…berbutlah kebajikan supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS Al-Hajj 22:77)
1. Dalam
surat Al-Furqan:
Terjemahan:
“…dan (perintah sujud itu) menambah mereka jauh dari (iman).” (QS Al-Furqan
25:60)
8. 9.
Dalam surat An-Naml:
Terjemahan:“…
Tuhan Yang Mempunyai ‘Arasy yang agung.” (QS An-Naml 27:26)
9. 10.
Dalam surat Alif Laam Mim Berita:
Terjemahan:
“… sedang mereka tidak menyombongkan diri.” (QS As-Sajadah 32: 5)
10. 11.
Dalam Surat Haa Mim:
Terjemahan:
“…sedang mereka tidak merasa jemu.” (QS Fushshilat 41:15)
11. 12.
Akhir surat An-Najm:
Terjemahan:
“Maka bersujudlah kepada Allah swt dan sembahlah (Dia).” (QS An-Najm 53:62)
12. 13.
Dalam surat Al-Insyiqaaq:
Terjemahan:
“… mereka tidak sujud.” (QS Al-Insyiqaaq 84:21)
13. 14.
Dan bacalah di akhir surat Al-‘Alaq (QS ke-19)
Terjemahan:
“Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan
dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan).” (QS Al-‘Alaq 96:19)
Tidak
ada perselisihan yang berarti berkenaan dengan suatu tempatnya, kecuali
berkenaan dengan sajadah yang terdapat dalam surat Haa Mim. Dalam masalah ini
para ulama berbeda pendapat. Imam Asy-Syafi’i dan para pengikutnya berpendapat
bahwa tempatnya adalah apa yang kami sebutkan, yaitu sesudah yas-amuuna. Ini
adalah madzhab Said Ibnu Musayyab, Muhammad bin Sirin, Abu Waail Syaqiq bin Salamah,
Sufyan Ath-Thauri, Abu Hanifah, Ahmad dan Ishaq bin Rahaqaih. Orang lainnya
berpendapat bahwa tempatnya sesudah firman Allah swt In Kuntum iyyaahu ta’
buduun (QS Fushshilat: 37).
Ibny
Nundzir menceritakannya dari Umar Ibnul Khattab, Hasan AlBashri dan para
pengikut Abdullah bin Mas’ud, Ibrahim An-Nakha’I, Abu Shahih, Thalhah bin
Masharif, Zubaid Ibnul Harith, Malik bin Anas dan AlLaith bin Sa’ad. Ini adalah
pendapat sebagian pengikut Asy-Syafi’i, AlBaghawi menceritakannya dalam
At-Tahdziib.
Sementara
pendapat Abul Hasan Ali bin Said Al-Abdi salah seorang sahabat kami dalam
kitabnya Al-Kifayah berkenaan dengan perselisihan fuqaha di kalangan kami,
bahwa sajadah dalam surat An-Naml ayat 25, adalah pada firman Allah swt, Wa
ya’lamu maayukhfuuna wamaa yu’linuun, berkata bahwa iniadalah madzhab sebagian
besar fuqaha.
Malik
berkata, bahwa sajadah itu pda firman Allah swt, Rabbul ‘arsyil ‘azhiim (QS
An-Naml: 26)
Pendapat
ini yang dipetik dari madzhab kami dan madzhab sebagian besar fuqaha yang tidak
dikenal dan tidak diterima, tetapi merupakan kesalahan yang nyata. Inilah
kitab-kitab para sahabat kami yang menegaskan bahwa sajadah itu pada firman
Allah swt, Rabbul ‘arsyil ‘Azhiim.
Masalah ke-65:
Hukum
Sujud Tilawah sama dengan hukum sembahyang, nafilah dalam pensyaratan suci dari
hadas dan najis, menghadap kiblat dan menutup aurat. Maka haram Sujud Tilawah
pada orang yang di badan atau bajunya terdapat najis yang tidak dapat
dimaafkan. Dan haram atas orang yang berhadas, kecuali jika dia bertayamum di suatu
tempat yang diharuskan bertayamum.
Diharamkan
pula menghadap selain kiblat, kecuali dalam perjalanan di mana bisa menghadap
selain kiblat dalam sembahyang nafilah. Semua ini disetujui oleh para ulama.
Masalah ke-66:
Jika
membaca sajadah (dalam Surat Shaad), orang yang berpendapat bahwa dalam surat
itu merupakan ketentuan tempatnya Sujud Tilawah, maka dia berkata, bisa sujud
sama saja ketika dia membacanya di dalam sembahyang atau di luarnya sebagaimana
sajadah-sajadah lainnya. Manakala Asy-Syafi’i dan lainnya berpendapat bahwa
pada tempat itu tidak termasuk tempat tujuan Sujud Tilawah, maka mereka
berkata, apabila membacanya di luar sembahyang, diutamakan baginya sujud karena
Nabi saw sujud pada tempat itu sebagaimana kami kemukakan.
Jika
membacanya dalam sembahyang, dia tidak sujud. Jika sujud, sedang dia tidak tahu
atau lupa, tidaklah batal sembahyangnya, tetapi dia lakukan sujud Sahwi. Jika
dia mengetahui, maka pendapat yang shahih adalah batal sembahyangnya karena dia
menambah dalam sembahyang sesuatu yang bukan termasuk dari sembahyang, maka
batallah sembahyangnya. Sebagaimana jika dia lakukan sujud syukur, maka sujud
itu membatalkan sembahyangnya tanpa ada perselisihan.
Pendapat
kedua adalah tidak batal karena berkaitan dengan sembahyang. Sekiranya imamnya
sujud pada sajadah dalam surat Shaad karena dia meyakininya termasuk sajadah
yang ditekankan untuk sujud sedang makmum tidak menyakininya, maka dia tidak
mengikuti imam, tetapi memsisahkan diri daripadanya atau menunggunya sambil
berdiri. Jika menunggunya, apakah makmum itu melakukan sujud Sahwi? Berkenaan
dengan perkara tersebut ada dua pendapat. Pendapat yang lebih tepat adalah
tidak sujud.
Masalah ke-67:
Berkenaan
dengan orang yang disunahkan untuk Sujud Tilawah. Ingatlah bahwa disunahkan melakukan
Sujud Tilawah bagi pembaca AlQur’an yang bersuci dengan air atau tanah, sama
saja dalam sembahyang atau di luarnya. Disunahkan pula bagi orang yang
mendengar dan orang yang mendengar tanpa sengaja. Bagaimanapun Imam Asy-Syafi’i
berkata, bahwa saya tidak menekankan ke atasnya sebagaimana saya tekankan bagi
orang yang mendengar. Inilah pendapat yang shahih.
Imamul
Haramain sahabat kami berkata, bahwa orang yang mendengar tidak perlu sujud.
Pendapat yang mansyur adalah pendapat pertama. Tiada bedanya sama saja
pembacanya dalam sembahyang atau di luar sembahyang disunahkan bagi orang yang
mendengar ataupun yang mendengar untuk sujud. Sama saja pembacanya sujud atau
tidak. Inilah pendapat yang shahih dan mansyur menurut para sahabat
Asy-Syafi’i, Abu Hanifah juga menyatakan demikian. Sahibul Bayaan dari
Ash-Habusy AsySyafi’i menyatakan, bahwa orang yang mendengar bacaan orang yang
membaca di dalam sembahyang, tidak perlu sujud.
Ash-Shaidalani
sahabat Asy-Syafi’i berkata, bahwa tidak disunahkan sujud, kecuali jika
pembacanya sujud. Pendapat yang lebih benar adalah pendapat pertama. Tidak ada
bedanya sama saja pembacanya seorang muslim laki-laki yang sudah baligh dan
bersuci atau sorang kafir atau anak kecil atau berhadas atau seorang perempuan.
Ini adalah pendapat yang sahih menurut pendapat kami dan Abu Hanifah juga
berkata demikian.
Sebagian
sahabat kami berkata, bahwa tidak perlu sujud untuk bacaan orang kafir, anak
kecil, orang yang berhadas dan orang yang mabuk. Sejumlah ulama Salaf berkata,
bahwa tidak perlu sujud untuk bacaan orang perempuan. Ibnul Munzir
menceritakannya dari Qatadah, Malik dan Ishaq. Pendapat yang lebih benar adalah
apa yang kami kemukakan.
Masalah ke-68:
Tentang
meringkas sujud Tilawah. Yang dimaksud adalah membaca satu atau dua ayat,
kemudian sujud. Ibnul Mundzir menceritakan dari AsySya’bi, Hasan Al-Bashri,
Muhammad bin Sirin, An-Nakha’I, Ahmad dan Ishaq bahwa mereka tidak menyukai hal
itu. Diriwayatkan daripada Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan dan Abu Thsaur bahwa
hal itu tidak ada masalah denganya dan ini sesuai dengan madzhab kami.
Masalah ke-69:
Jika
sembahyang sendirian, dia bisa sujud untuk bacaan dirinya sendiri. Seandainya
dia meninggalkan Sujud Tilawah dan rukuk, kemudian ingin sujud untuk tilawah
sesudahnya, maka tidak bisa. Jika sudah merebahkan diri untuk rukuk tetapi
belum sampai ke batas rukuk, maka bisa melakukan Sujud Tilawah. Jika dia
lakukan dengan mengetahuinya, batallah sembahyangnya. Jika dia sudah merebahkan
dirinya untuk sujud Tilawah, kemudian teringat dan berdiri semula, maka hal itu
bisa.
Sementara
jika orang yang sembahyang sendirian mendengar bacaan seorang pembaca dalam
sembahyang atau lainnya, maka dia tidak bisa sujud karena mendengarnya. Jika
dia sujud dengan mengetahui, batallah sembahyangnya.
Manakala
orang yang sembahyang berjamaah, apabila dai sebagai imam, maka dia seprti
orang yang sembahyang sendirian. Jika Imam Sujud Tilawah karena bacaannya
sendiri, wajiblah atas makmum untuk sujud bersamanya. Jika tidak dilakukannya,
batallah sembahyangnya, Jika imam tidak sujud, maka makmum tidak bisa sujud.
Jika makmum sujud, batallah sembahyangnya. Bagaimanapun diutamakan baginya
untuk sujud jika selesai sembahyang dan tidak ditekankan.
Sekiranya
imam sujud sedang makmum tidak tahu hingga imam mengangkat kepalanya dari
sujud, maka dia dimaafkan atas ketertinggalannya dan dia tidak bisa sujud.
Sekiranya dia mengetahui sedang imam dalam keadaan sujud, wajiblah dia sujud.
Sekiranya dia rebahkan diri untuk sujud, kemudian imam mengangkat kepalanya
ketika dia sedang bergerak untuk sujud, maka dia mesti berdiri semula
bersamanya dan tidak bisa sujud.
Demikian
orang lemah yang merebahkan untuk sujud bersama imam, apabila imam bangkit dari
sujud sebelum orang yang lemah itu sampai ke tempat sujud lantaran cepatnya
imam dan lambatnya makmum yang lemah itu, maka dia kembali bersamanya dan tidak
bisa meneruskan sujud.
Sementara
jika orang yang sembahyang itu sebagai makmum, maka dia tidak bisa sujud karena
bacaannya sendiri ataupun karena bacaan selain imamnya. Jika dia sujud,
batallah sembahyangnya. Dan makruh baginya membaca ayat sajadah dan mendengar
pada bacaan selain imamnya.
Masalah ke-70:
Waktu
sujud Tilawah. Para Ulama berkata, bahwa sujud Tilawah itu mesti dilakukan
sesudah ayat sajadah yang dibaca atau didengarnya. Jika dia tangguhkan dan
tidak lama selang waktunya, dia bisa sujud. Jika lama selang waktunya, maka
telah berlalu waktu sujudnya dan tidak perlu mengqadha menurut madzhab yang
sahih dan masyhur, sebagaimana sembahyang gerhana matahari tidak bisa di qadha.
Salah seorang sahabat kami berkata, bahwa ada pendapat lemah yang mengatakan
bahwa sujud itu bisa di qadha sebagaimana mengqadha sunah-sunah rawatib,
seperti sunah Subuh, Zuhur dan lainnya.
Kalau
pembaca atau pendengarnya berhadas ketika membaca sajadah, kemudian bersuci
dalam waktu yang tidak lama, dia bisa sujud. Jika bersucinya terlambat hingga
lama selang waktunya, maka pendapat yang sahih dan terpilih yang ditetapkan
oleh sebagian besar ulama adalah tidak sujud.
Ada
orang yang berpendapat bahwa dia bisa sujud. Ini adalah pilihan Al-Baghawi
sahabat kami. Dia pun bisa menjawab muadzin (orang yang azan) setelah selesai
sembahyang. Hal yang dikira berkenaan dengan lamanya selang waktu dalam hal ini
adalah menurut kebiasaan sebagai madzhab terpilih. Wallahua’lam.
Masalah ke-71:
Jika
seluruh ayat sajadah atau beberapa sajadah dibaca dalam suatu majelis, maka dia
sujud pada setiap sajadah tanpa ada perselisihan. Jika dia mengulangi bacaan
satu ayat dalam beberapa majelis, maka dia sujud untuk setiap kali sajadah
tanpa ada perselisihan. Jika dia mengulanginya dalam satu majelis, maka ada
beberapa pandangan. Jika tidak sujud untuk kali pertama, cukuplah baginya
sekali sujud untuk semuanya. Jika dia sujud untuk kali yang pertama, maka ada
tiga pendapat berkenaan dengan puasaerkara tersebut. cara yang lebih sahih
adalah sujud sekali untuk setiap bacaan karena adanya sebab baru setelah
memenuhi hukum yang pertama.
Pendapat
kedua, cukuplah baginya sujud setelah bacaan pertama untuk semuanya. Ini adalah
pendapat Ibnu Surajj dan MerekaAzhab Abu Hanifah rahimahullah. Penulis
Al-‘Uddah sahabat kami berkata, inilah yang difatwakan. Asy-Syeikh Nashr
Al-Maqdisi Az-Zaahid sahabat kami memilih pendapat ini.
Pendapat
ketiga, jika selang waktunya berlangsung lama, dia bisa sujud. Kalau tidak,
cukuplah baginya sujud karena sajadah yang pertama. Jika satu ayat dibaca
berulang-ulang dalam sembahyang dan kalau hal itu dilakukan dalam satu rakaat,
maka seperti satu majelis. Kalau berlangsung dalam dua rakaat, maka dia seperti
dua majelis hingga dia ulangi sujudnya tanpa ada perselisihan.
Masalah ke-72:
Jika
membaca sajadah sambil menaiki kendaraan dalam perjalanan, dia bisa sujud
dangan memberi isyarat. Ini adalah madzhab kami, Imam Malik, Abu Hanifah, Abu
Yusuf, Muhammad, Ahmad, Zufar, Dawud dan lainnya. Seorang sahabat Abu Hanifah
berkata dia, tidak perlu sujud. Pendapat yang lebih banar adalah madzhab
mayoritas ulama. Manakala orang yang menaiki kendaraan di tempat menetap, maka
dia tidak bisa sujud dengn memberi isyarat.
Masalah ke-73:
Jika
dia membaca ayat sajadah dalam sembahyang sebelum AlFatihah, maka dia bisa
sujud. Lain halnya jia dia membaca dalam rukuk atau sujud, maka dia tidak bisa
sujud. Karena berarti adalah tempat membaca. Sekiranya dia membaca sajadah,
kemudian merebahkan diri untuk sujud, kemudian dia ragu sama saja membaca
Al-Fatihah atau belum, maka dia bisa sujud untuk tilawah. Kemudian dia berdiri
lagi dan membaca Al-fatihah karena Sujud Tilawah tidak bisa ditangguhkan.
Masalah ke-74:
Jika
seseorang membaca sajadah dengan bahasa Parsi, maka menurut pendapat kami tidak
perlu sujud, sebagaimana jika ayat sajadah itu ditafsirkan. Namun Abu Hanifah
berpendapat bisa sujud.
Masalah ke-75:
Jika
orang yang mendengar ayat sajadah itu sujud bersama pembaca, dia tidak terikat
dengannya dan tidak berniat mengikutinya dan dia bisa bangkit dari sujud
sebelumnya.
Masalah ke-76:
Tidaklah
makruh pembacaan ayat sajadah oleh imam, menurut pendapat kami, sama saja dalam
sembahyang yang pelan bacaannya atau dalam sembahyang yang jahar bacaannya dan
dia bisa sujud jika membacanya.
Dalam
hal ini Imam Malik berpendapat, bahwa sujud tidak disukai sama sekali. Abu
Hanifah berpendapat, Makruh sujud Tilawah dalam sembahyang yang pelan
bacaannya, bukan sembahyang yang jahar bacaannya.
Masalah ke-77:
Menurut
pendapat kami tidak makruh Sujud Tilawah dalam waktuwaktu yang dilarang
sembahyang. Ini juga merupakan pendapat Asy-Sya’bi, Hasan Al-Bashri, Salim bin
Abdullah, Al-Qasim, Atha’, Ikrimah, Abu Hanifah, Ashabur Ra’yi dan Malik dalam
salah satu dari dua riwayat. Sejumlah ulama tidak menyukai hal itu. Diantara
mereka adalah Abdullah bin Umar, Sa’id, Ibnul Musayyab dan Malik dalam riwayat
lain, Ishaq bin Rahawaih dan Abu Thaur.
Masalah ke-78:
Rukuk
tidak bisa manggantikan kedudukan sujud Tilawah dalam keadaan ikhtiar. Ini
mazhab kami dan madzhab mayoritas Ulama Salaf dan Kalaf. Abu Hanifah
rahimahullah berpendapat, rukuk bisa menggantikannya. Dalil yang dipakai oleh
mayoritas adalah mengkiaskannya dengan sujud dalam sembahyang. Sementara orang
yang tidak sanggup sujud, maka dia memberi isyarat untuk Sujud Tilawah
sebagaimana dia memberi isyarat untuk sujud dalam sembahyang.
Masalah ke-79:
Tentang
sifat sujud. Ingatlah bahwa orang yang melakukan sujud Tilawah mempunyai dua
keadaan. Yang pertama, di luar sembahyang dan yang kedua di dalam sembahyang.
Manakala
keadaan pertama, maka jika dia ingin sujud, dia niatkan Sujud Tilawah dan
melakukan takbiratul ihram dan mengangkat kedua tangan sejajar dengan kedua
bahunya sebagaimana dia melakukan takbiratul ihram untuk sembahyang. Kemudian
dia takbir lagi untuk Sujud Tilawah tanpa mengangkat tangan. Takbir yang kedua
ini mustahab, bukan syarat, seperti takbir sujud untuk sembahyang. Sementara
takbir yang pertama, yaitu takbiratul ihram, maka ada tiga pendapat dari
sahabat-sahabat kami.
Pendapat
pertama adalah yang paling tepat yaitu pendapat sebagian besar dari mereka,
bahwa takbir yang pertama (takbiratul ihram) merupakan rukun dan tidak sah
sujud Tilawah kecuali dengannya.
Pendapat
kedua adalah mustahab. Sekiranya takbir itu ditinggalkan sujudnya tetap sah. Ia
adalah pendapat Asy-Syeikh Abu Muhammad AlJuwaini.
Pendapat
ketiga tidak mustahab. Wallahua’lam.
Kemudian,
jika orang yang ingin sujud itu dalam keadaan berdiri, dia pun mengucapkan
takbiratul ihram, kemudian takbir untuk sujud ketika merebahkan diri ke tempat
sujud. Jika dalam keadaan duduk, maka jamaah daripada sahabat kami berpendapat:
Disunahkan baginya berdiri, kemudian takbiratul Ihram dalam keadaan berdiri
kemudian merebahkan diri untuk sujud, sebagaimana halnya ketika permulaan dalam
keadaan berdiri.
Dalil
pendapat ini adalah mengkiaskan takbiratul ihram dan sujud dalam sembahyang.
Orang yang menetapkan ini antara lain imam-imam sahabat kami Asy-Syeikh Abu
Muhammad Al-Juwaini dan AlQadhi Husain dan kedua sahabatnya ini adalah penulis
At-Titimmah dan At-Tahdzib dan Imam Al-Muhaqiq Abul Qasim Ar-Rafi’i. Imamul
Haramainmenceritakannya dari ayahnya Asy-Syeikh Abu Muhammad.
Kemudian
dia mengingkarinya dan berkata, saya tidak melihat dasar dikemukakannya alasan
perkara ini. Apa yang dikatakan oleh Imamul Haramainini adalah benar. Tidak ada
riwayat yang sahih berkenaan dengan hal ini dari pada Nabi saw dan tidak pula
dari ulama Salaf yang bisa dibuat sandaran. Mayoritas dari sahabat kami tidak
ada yang menyebutnya. Wallahua’lam.
Kemudian
ketika sujud dia mesti memperhatikan adab-adab sujud dalam bentuk (haiah) dan
tasbihnya. Manakala berkenaan dengan haiahnya, maka dia letakkan kedua
tangannya setakat kedua bahunya di atas tanah dan merapatkan jari-jemarinya
serta membentangkannya ke arah kiblat dan membentangkan jari-jemarinya dari
genggaman sebagaimana orang yang melakukan sujud dalam sembahyang. Dia jauhkan
kedua sikunya dari kedua sisinya dan mengangkat perutnya dari kedua pahanya
kalau seorang lelaki. Jika dia seorang perempuan, maka dia tidak menjauhkannya.
Orang yang sujud mengangkat bagian bawahnya di atas kepalanya dan merapatkan
dahi dan hidungnya di atas mushalla (alas tempat sembahyang) dan tenang dalam
sujudnya.
Sementara
tasbih di dalam sujud, maka para sahabat kami berpendapat, dia bertasbih
seperti bertasbih dalam sujud sembahyang. Dia ucapkan tiga kali Subhana
Rabbiyal A’la tiga kali.
Kemudian
dia ucapkan:
Terjemahan:
“Ya Allah, kapada-Mu aku sujud, kepada-Mu aku beriman dan kepada-Mu aku
berserah diri. Wajahku sujud kepada Tuhan yang menciptakannya dan membentuk
rupanya, membuat pendengaran dan penglihatannya dengan daya dan kekuatan-Nya.
Maha Suci Allah sebaik-baik Pencipta.”
Dan
dia ucapkan Subbuhun Qudduusun Rabbul malaaikati warruuh.
Semua
ini diucapkan orang yang sembahyang dalam sujudnya ketika sembahyang. Para
sahabat kami juga berkata, diutamakan mengucapkan:
Terjemahan:
“Ya Allah, tulislah bagiku dengan sujud ini pahala di sisiMua dan jadikanlah
dia bagiku sebagai simpanan di sisi-Mu, hapuskan dosa dariku dan terimalah dia
dariku sebagaimana Engkau menerimanya dari hamba-Mu Dawud as.”
Doa
ini khusus bagi sujud ini (Sujud Tilawah), maka patutlah dia selalu dibaca.
Al-Uatad
Isma’il Adh-Dharir berkata dalam kitabnya At-Tafsir bahwa pilihan Asy-Syafi’i
ra dalam doa sujud Tilawah adalah mengucapkan:
Terjemahan:
“Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.” (QS
Al-Isra’ 17:108)
Petikan
dari Asy-Syafi’i ini aneh sekali dan ia adalah baik. Karena zahir Al-Qur’an
menghendaki ucapan pujian di dalam sujud oleh pelakunya. Maka disunahkan
menggabungkan antara dzikir-dzikir ini seluruhnya dan berdoa berkenaan dengan
urusan-urusan akhirat dan dunia yang diinginkannya. Jika dia batasi pada
sebagiannya, sudah cukup bacaan tasbihnya. Sekiranya tidak bertasbih dengan
sesuatu apa pun, tercapailah sujudnya seperti halnya sujud dalam sembahyang.
Kemudian
ketika selesai dari bertasbih dan berdoa, dia angkat kepalanya sambil
bertakbir.
Apakah
Sujud Tilwah memerlukan salam? Terdapat dua pendapat yang masyhur dari
Asy-Syafi’i. Cara yang lebih sahih dari keduanya menurut majoriti sahabatnya
ialah dia memerlukan salam karena memerlukan takbiratul ihram dan menjadi
seperti sembahyang jenazah. Di didukung oleh riwayat Ibnu Abi Dawud dengan
isnadnya yang sahih dari Abdullah bin Mas’ud ra bahwa apabila membaca ayat
sajadah, dia pun sujud, kemudian memberi salam.
Pendapat
kedua, tidak memerlukan salam seperti Sujud Tilawah dalam sembahyang karena hal
itu tidak dinukil dari pada Nabi saw.
Berdasarkan
pendapat pertama, apakah dia memerlukan tasyahud? Terdapat dua pendapat
berkenaan dengan perkara tersebut. Cara yang lebih sahih dari keduanya ialah
tidak perlu tasyahud, sebagaimana tidak perlu berdiri.
Salah
seorang sahabat kami menggabungkan antara dua masalah dan berkata, berkenaan
dengan tasyahud dan salam ada tiga pendapat:
1. Pendapat
yang lebih sahih ialah mesti memberi salam tanpa membaca tasyahud.
2. Pendapat
kedua, dia tidak memerlukan salah satu dari keduanya.
3. Dan
pendapat ketiga ialah mesti melakukan keduanya.
Mereka
yang berpendapat harus memberi salam, antara lain Muhammad bin Sirin, Abu
Abdurrahman As-Salami, Abul Ahwash, Abu Qalabah dan Ishaq bin Rahawain.
Mereka
yang berpendapat tidak perlu memberi salam, antara lain Hasan Al-Bashri, Said
bin Jubair, Ibrahim An-Nakha’I, Yahya bin Wathab dan Ahmad. Semua ini dalam
keadaan pertama, yaitu sujud di luar sembahyang. Keadaan kedua, yaitu melakukan
Sujud Tilawah dalam sembahyang, maka dia tidak perlu mengucapkan takbiratul
ihram dan diutamakan bertakbir untuk sujud dan tidak mengangkat kedua tangannya
serta bertakbir untuk bangkit dari sujud. Inilah pendapat yang sahih dan
masyhur yang didukung bersama oleh mayoritas ulama.
Abu
Ali bin Abu Huarirah salah seorang sahabat kami berkata, dia tidak perlu
bertakbir untuk sujud ataupun untuk bangkit dari sujud. Pendapat yang terkenal
adalah pendapat pertama.
Manakala
adab-adab dalam haiah dan tasbih dalam Sujud Tilawah adalah seperti dalam sikap
sujud yang lalu di luar sembahyang. Kecuali jika orang yang sujud itu menjadi
imam, maka hendaklah dia tidak memanjangkan tasbih, kecuali jika dia tahu dari
keadaan para makmuk bahwa mereka lebih suka memanjangkannya.
Kemudian,
ketika bangkit dari sujud, dia berdiri dan tidak duduk untuk diam sejenak tanpa
ada perselisihan. Ini adalah masalah yang aneh dan jarang orang menyebutnya. Di
antara yang menyebutnya adalah Al_Qadhi Husain, Al-Baghawi dan Ar-Rafi’i. Ini
berlainan dengan sujud sembahyang.
Pendapat
yang sahih dan disebutkan oleh Asy-Syafi’i dan terpilih yang tercatat dalam
hadits-hadits sahih riwayat Bukhari dan lainnya adalah anjuran untuk duduk
istirahat sesudah sujud yang kedua dari rakaat pertama dalam setiap sembahyang
dan pada rakaat ketiga dalam sembahyang yang rakaatnya empat.
Kemudian,
apabila bangkit dari Sujud Tilawah, maka harus berdiri tegak. Disunahkan ketika
berdiri tegak adalah membaca sesuatu, kemudian rukuk. Jika berdiri tegak,
kemudian rukuk tanpa membaca sesuatu, maka hukumnya bisa.
Masalah ke-80:
Waktu-waktu
terpilih membaca Al-Qur’an. Ingatlah bahwa membaca Al-Qur’an yang paling baik
adalah di dalam sembahyang. Manurut madzhab Asy-Syafi’i dan lainnya, bahwa
berdiri lama dalam sembahyang lebih baik daripada sujud yang lama.
Sementara
membaca Al-Qur’an di luar sembahyang, maka yang paling utama adalah pada waktu
malam dan dalam separuh terakhir dari waktu malam lebih baik daripada separuh
pertama. Membacanya di antara Maghrib dan Isyak disukai. Manakala pembacaan
pada waktu siang, maka yang paling utama adalah setelah sembahyang Subuh dan
tidak ada makruhnya membaca Al-Qur’an pada waktu-waktu yang mengandung makan.
Sementara
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Mu’adz bin Rifa’ah dari guru-gurunya
bahwa mereka tidak suka membaca Al-Qur’an sesudah Ashar. Waktu itu adalah waktu
orang Yahudi belajar. Riwayat itu tidak bisa diterima dan tidak ada dasarnya.
Hari-hari
yang terpilih ialah Jumaat, Senin, Kamis dan hari Arafah, sepuluh hari terakhir
bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah; sedang bulan yang
paling utama dalah bulan Ramadhan.
Masalah ke-81:
Jika
pembaca merasa bingung dan tidak mengetahui tempat sesudah ayat yang telah
dicapainya, maka bertanyalah kepada orang lain. Patutlah dia mengacu dengan apa
yang diriwayatkan daripada Abdullah Abu Mas’ud, Ibrahium An-Nakha’I dan Basyir
bin Abu Mas’ud ra. Mereka berkata, apabila seseorang dari kamu bertanya kepada
saudaranya tentang suatu ayat, hendaklah dia membaca ayat yang sebelumnya,
kemudian diam dan tidak mengatakan bagaimana bisa begini dan begini, hal itu
akan mengelirukannya.
Masalah ke-82:
Jika
ingin berdalil dengan suatu ayat, maka dia bisa berkata, Qaalallahu Ta’ala
kadza (Allah telah berfirman demikian) dan dia bisa berkata, Allaahu Ta’ala
Yaquulu kadza (Allah berfirman demikian). Tidak ada makruhnya sesuatu pun dalam
hal ini. Ini adalah pendapat yang sahih dan yang terpilih yang didukung bersama
oleh ulama Salaf dan Kalaf.
Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Dawud dari Mutharif bin Abdullah Ibn Asy-Syakhiir seorang tabi’in
yang masyhur, katanya: Janganlah kamu katakan, Innallaaha Ta’ala Yaquulu,
tetapi katakanlah, InnAllah swta Ta’ala qaala. Apa yang diingkari oleh Mutharif
rahimahullah ini bertentangan dengan apa yang disebut di dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah dan dilakukan oleh para sahabat serta para ulama setelah
mereka-mudah-mudahan Allah swt meridhaoi mereka.
Allah
berfirman:
Terjemahan:
“Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).”
(QS Al-Ahzab 33:4)
Diriwayatkan
dalam Shahih Muslim dari Abu Dzarr ra katanya: Rasulullah saw bersabda, Allah
berfirman:
Terjemahan:
“Barangsiapa berbuat baik, maka dia mendapat ganjaran sepuluh kali lipat.” (QS
Al-An’am 6:60)
Diriwayatkan
dalam shahih Muslim dalam bagian Tafsir; “Lan Tanaalul birra hattaa tunfiquu
mimmaa tuhibbuun.”
Abu
Talhah berkata:
Terjemahan:
“Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah berfirman:
Terjemahan:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS Ali-Imran 3:92)
Ini
adalah pendapat Abu Thalhah di hadapan Nabi saw
Diriwayatkan
dalam hadits sahih dari Masruq rahimahullah, katanya: Aku berkata kepada Aisyah
ra, bukankah Allah berfirman:
Terjemahan:
“Dan sesungguhnya Muhammad itu melihat Tuhan di ufuk yang terang.” (QS
At-Takwir 81:23)
Maka
Aisyah menjawab, tidaklah engkau mendengar bahwa Allah berfirman:
Terjemahan:
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala
penglihatan itu.” (QS Al-An’am 6:130)
Atau
tidakkah engkau mendengar bahwa Allah berfirman:
Terjemahan:
“Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berbicara dengan dia,
kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir.” (QS Asy-Syuura 26:51)
Kemudian
Aisyah berkata dan Allah berfirman:
Terjemahan:
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.” (QS
Al-Maidah 5:67)
Kemudian
Aisyah berkata dan Allah berfirman:
Terjemahan:
“Katakanlah! Tidak ada seorang pun di langit dan dibumi yang mengetahui perkara
yang ghaib, kecuali Allah.” (QS An-Naml 27:65)
Pendapat
ini lebih banyak ditemukan dalam pandangan ulama Salaf dan Kalaf. Wallahua’lam.
Masalah ke-83:
Adab-adab
berkhatam Al-Qur’an dan segala yang berkaitan dengannya. Dalam bab ini ada
beberapa Masalah:
Masalah
pertama, berkenaan dengan waktunya telah ditentukan bahwa pengkhataman oleh
pembaca sendirian disunahkan untuk dilakukan dalam sembahyang. Ada orang yang
berpendapat, disunahkan melakukan pengkhataman itu dalam dua rakaat sunah Fajar
dan dalam dua rakaat sunah Maghrib, sedangkan dalam dua rakaat Fajar lebih
utama.
Disunahkan
pengkhataman Al-Qur’an sekali khatam di awal siang dalam suatu rumah dan
mengkhatamkn lainnya diakhir siang di rumah lain. Manakala yang mengkhatamkan
di luar sembahyang dalam jamaah yang mengkhatamkan bersama-sama, maka
disunahkan pengkhataman mereka berlangsung di awal siang atau di awal malam
sebagaimana dikemukakan. Awal siang lebih utama menurut sebagian ulama.
Masalah
kedua, diutamakan berpuasa pada hari pengkhataman, kecuali jika bertepatan
dengan hari yang dilarang syarak puasa hari itu. Diriwayatkan oleh Ibnu Dawud
dengan isnadnya yang sahih, bahwa Thalhah bin Mutharif dan Habib bin Abu
Thabit, serta Al-Musayyib bin Raafi’ para tabi’im Kuffah ra, dianjurkan
berpuasa pada hari di mana mereka mengkhatamkan Al-Qur’an.
Masalah
ketiga, diutamakan sekali menghadiri majelis pengkhataman Al-Qur’an.
Diriwayatkan
dalam Shahihain:
Terjemahan:
“Bahwa Rasulullah saw menyuruh perempuanperempuan yang haid keluar pada hari
raya untuk menyaksikan kebaikan dan doa kaum muslimin.”
Diriwayatkan
oleh Ad-Daarimi dan Ibnu Abi Dawud dengan isnadnya dari ibnu Abbas ra bahwa dia
menyuruh seseorang memperhatikan seorang yang membaca Al-Qur’an. Jika pembaca
Al-Qur’an itu akan khatam, hendaklah dia memberitahukan kepada Ibnu Abbas,
sehingga dia dapat menyaksikan berkhatam itu.
Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Dawud dengan dua isnadnya yang sahih dari Qatadah seorang tabi’in
besar sahabat Anas ra, katanya: Anas bin Malik ra. Apabila mengkhatamkan
Al-Qur’an, dia kumpulkan keluarganya dan berdoa. Dia meriwayatkan dengan
isnad-isndnya yang sahih dari Al-Hakam bin Uyainah seorang tabi’in yang mulia.
Katanya:
Mujahid dan Utbah bin Lubabah mengutus orang kepadaku, keduanya berkata, kami
mengutus orang kepadamu karena kami ingin mengkhatamkan Al-Qur’an. Doa sangat
mustajab ketika mengkhatamkan Al-Qur’an. Dalam suatu riwayat yang sahih
disebutkan, bahwa rahmat turun ketika mengkhatamkan Al-Qur’an.
Diriwayatkan
dengan isnadnya yang sahih dari mujahid, katanya: Mereka berkumpul ketika
mengkhatamkan Al-Qur’an dan berkata, rahmat Allah swt turun.
Masalah
keempat, berdoa sesudah pengkhataman Al-Qur’an amat disunahkan berdasarkan apa
yang kami sebutkan dalam masalah sebelumnya. Diriwayatkan oleh Ad-Daarimi
dengan isnadnya dari Humaid Al-A’raj, katanya: Barangsiapa membaca Al-Qur’an,
kemudian berdoa, maka doanya diamini oleh 4.000 malaikat. Hendaklah dia
bersungguh-sungguh dalam bedoa dan mendoakan hal-hal yang penting serta
memperbanyak untuk kebaikan kaum muslimin dan para pemimpin mereka.
Diriwayatkan
oleh Al-Hakim Abu Abdillah An-Nisaburi dengan isnadnya bahwa Abdullah Ibn
Al-Mubarak ra apabila mengkhatamkan AlQur’an, maka sebagian besar doanya adalah
untuk kaum muslimin, Mukminin dan mukminat. Pada waktu yang sama dia juga
berkata seperti itu. Maka hendaklah orang yang berdoa memilih doa-doa yang
menyeluruh, seperti:
Terjemahan:
“Ya Allah, sempurnakanlah hati kami, hilangkanlah keburukan kami, bimbinglah
kami dengan jalan yang terbaik, hiasilah kami dengan ketaqwaan, kumpulkanlah
bagi kami kebaikan akhirat dan dunia dan anugerahkanlah kami ketaatan kepada-Mu
selama Engkau menghidupkan kami.”
Terjemahan:
“Ya Allah, mudahkanlah kami ke jalan kemudahan dan jauhkanlah kami dari
kesukaran, lindungilah kami dari keburukan diri kami dan amal-amal kami yang
buruk, lindungilah kami dari siksa neraka dan siksa kubur, fitnah semasa hidup
dan sesudah mati serta fitnah Al-Masih AdDajjal.”
Terjemahan:
“Ya Allah, kami mohon kepada-Mu petunjuk, kekuatan, kesucian diri dak
kecukupan.”
Terjemahan:
“Ya Allah, Kami amanahkan pada-Mu agama, jiwaraga dan penghabisan amal-amal
kami, keluarga dan orang-orang yang kami cintai, kaum muslimin lainnya dan
segala urusan akhirat dan dunia yang Engkau anugerahkan kepada kami dan
mereka.”
Terjemahan:
“Ya Allah, kami mohon kepada-Mu maaf dan keselamatan dalam agama, dunia dan
akhirat. Kumpulkanlah antara kami dan orang-orang yang kami cintai di negeri
kemuliaan-Mu dengan anugerah dan rahmat-Mu.”
Terjemahan:
“Ya Allah, sempurnakanlah para pemimpin muslimin dan jadikanlah mereka berlaku
adil terhadap rakyat mereka, berbuat baik kepada mereka, menunjukkan kasih
sayang dan bersikap lemah-lembut kepada mereka serta memperhatikan
maslahat-maslahat mereka. Jadikanlah mereka mencintai rakyat dan mereka dicintai
rakyat. Jadikanlah mereka menempuh jalan-Mu dan mengamalkan tugas-tugas
agama-Mu yang lurus.”
Terjemahan:
“Ya Allah, berlembutlah kepada hamba-Mu penguasa kami dan jadikanlah dia
memperhatikan maslahat-maslahat dunia dan akhirat. Jadikanlah dia mencintai rakyatnya
dan jadikanlah dia dicintai rakyat.”
Dia
membaca doa-doa lanjutan berkenaan dengan para pemimpin dan menambahkan sebagai
berikut:
Terjemahan:
“Ya Allah, rahmatilah diri dan negerinya, jagalah para pengikut dan tentaranya,
tolonglah dia untuk menghadapi musuh-musuh
agama
dan para penantang lainnya. Jadikanlah dia bertindak menghilangkan berbagai
kemungkaran dan menunjukkan kebaikan-kebaikan serta berbagai bentuk kebajikan.
Jadikanlah Islam semakin tersebar dengan sebabnya, muliakanlah dia dan rakyatnya
dengan kemuliaan yang cemerlang.”
Terjemahan:
“Ya Allah, perbaikilah keadaan kaum muslimin dan murahkanlah harga-harag
mereka, amankanlah mereka di negeri-negeri mereka, lunasilah hutang-hutang
mereka, sembuhkanlah orang-orang yang sakit diantara mereka, bebaskanlah mereka
yang ditawan, sembuhkanlah penyakit hati mereka, hilangkanlah kemarahan hati
mereka dan persatukanlah diantara mereka.
Jadikanlah
iman dan hikmah dalam hati mereka, tetapkanlah mereka diatas agama Rasul-Mu
saw. Ilhamilah mereka agar memenuhi janji-Mu yang Engkau berikan kepada mereka,
tolonglah mereka dalam menghadapi musuh-Mu dan musuh mereka, wahai Tuhan Yang
Maha Besar dan jadikanlah kami dari golongan mereka.”
Terjemahan:
“Ya Allah, jadikanlah mereka menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mengamalkannya,
mencegah dari yang mungkar dan menjauhinya, memelihara batas-batas-Mu,
melakukan ketaatan kepada-Mu, saling berbuat baik dan menasihati.”
Terjemahan:
“Ya Allah, jagalah dalam pendapat dan perbuatan mereka, berkatilah mereka dalam
semua keadaan mereka.”
Orang
yang berdoa hendaklah memulai dan mengakhiri doanya dengan ucapan:
Terjemahan:
“Segala Puji bagi Allah Tuhan sekalian alam dengan pujian yang memadai dengan
nikmat-nikmat-Nya dan sepadan dengan tambahan-Nya.
Ya
Allah, limpahkanlah sholwat dan salam ke atas Muhammad dan keluarga (Penghulu
Kami) Muhammad sebagaimana Engkau melimpahkan sholwat ke atas Ibrahim dan
keluarganya.
Berkatilah
(Penghulu kami) Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkati
Ibrahim dan keluarganya. Di seluruh alam, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan
Maha Mulia.”
Masalah
kelima, apabila selesai dari pengkhataman Al-Qur’an, apabila selesai dari
pengkhataman Al-Qur’an, disunahkan memualai lagi membaca Al-Qur’an sesudahnya.
Para Ulama Salaf dan Kalaf telah menganjurkan hal itu. Mereka berhujah dengan
hadits Anas ra bahwa Rasulullah saw bersabda:
Terjemahan:
“Sebaik-baik amal adalah al-Hallu dan ar-Rahlah. Ditanyakan kepada baginda,
‘Apakah keduanya itu?’ Nabi saw menjawab, ‘Memulai membaca Al-Qur’an dan
mengkhatamkannya’.”
==
BAB 6 ADAB DAN ETIKA MEMBACA AL-QUR’AN II
Reviewed by suqamuslim
on
Mei 14, 2018
Rating:
Tidak ada komentar: