BAB 6 ADAB DAN ETIKA MEMBACA AL-QUR’AN II



BAB 6 ADAB DAN ETIKA MEMBACA AL-QUR’AN II


Masalah ke-54:

Masalah-masalah aneh yang perlu diketahui. Di antaranya ialah apabila membaca surat, kemudian anging mengganggunya (menguap), maka hendaklah dia menghentikan bacaanya hingga sempurna keluarnya, kemudian kembali membaca. Demikianlah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Dawud dan lainnya dari Atha’ dan itu adalah adab yang baik.

Diantaranya ialah apabila seseorang menguap, dia hentikan bacaannya hingga selesai menguap, kemudian meneruskan bacaan. Mujahid berkata: “Itu adalah baik.”

Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri ra, Katanya: Rasulullah saw bersabda:

Terjemahan: “Jika seseorang dari kamu menguap, hendaklah dia menutup mulutnya dengan tangannya karena syaitan akan masuk.” (Riwayat Muslim)

Diantaranya apabila membaca Firman Allah ‘Azza wa Jalla:

Terjemahan: “Kaun Yahudi berkata: ‘Uzair putera Allah swt’ dan kaum Nasrani berakata, ‘Al-Masih putera Allah swt.” (QS At-Taubah 9:30)
Terjemahan: “Dan kaum Yahudi berkata: Tangan Allah swt terbelnggu.” (QS Al-Maidah 5:64)
Terjemahan: “Dan mereka berkata: Tuhan Yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak…” (QS Maryam 19:88)

Dan ayat-ayat lain yang seumpama itu. Maka hendaklah dia memperlahankan suaranya ketika membacanya. Demikianlah yang dilakukan oleh Ibrahim An-Nakha’ ra.

Di antaranya ialah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Dawud dengan isnad dhaif dari Asy-Sya'b’ bahwa dikatakan kepadanya, jika manusia membaca:

Terjemahan: “Sesungguhnya Allah swt dan para malaikat-Nya bersholawat kepada Nabi.” (QS Al-Ahzab 33:56)

Dia pun mengucapkan sholawat untuk Nabi saw Asy-Sya’bi menjawab: “Ya”.

Diantaranya ialah disunahkan baginya mengucapkan apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurtairah ra daripada Nabi saw bahwa Baginda bersabda:

Terjemahan: “Barangsiapa membaca (Wattiini waz-zaituuni) dan sehingga pada (Alaisa Allah swtu bi ahkamil haakimiin), hendaklah dia mengucapkan: Balaa wa ana ‘alaa dzaalika minays-syaahidiin.” (Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi, dengan isnad dhaif)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Tirmidzi berkata: “Hadits ini diriwayatkan dengan isnad ini, dari orang badui dari Abu Hurairah.” Dia berkata: “Dan tidak disebut namanya.”

Ibnu Abi Dawud dan lainnya meriwayatkan dalam hadits ini, sebagai tambahan riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi:

Terjemahan: “Barangsiapa membaca akhir surat Al-Qiyamah, (Alaisa dzaalika bi qaadirin ‘alaa an yuhyiya al-nautaa), hendaklah dia mengucapkan: ‘Balaa wa ana asyhadu’. Dan Barangsiapa membaca (Fa bi ayyi hadiithin ba’dahu yu’minuun), hendaklah dia mengucapkan, ‘Aamantu billahi.”

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, Ibnu Zubair dan Abu Musa AlAsy’ari’ra bahwa apabila seseorang dari mereka membaca: Sabbihisma rabbikal a’laa mereka mengucapkan Subhaan Rabbiyal A’laa (Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi). Diriwayatkan dari Umar Ibnu Khattab ra bahwa dia mengucapkan pada ayat itu Subhaana Rabbiyal a‘laa tiga kali. Diriwayatkan dari pada Abdullah bin Mas’ud ra bahwa dia sembahyang dan membaca akhir surat Bani Israil. Kemudian dia ucapkan Alhamdullilahi ladzii lam yattakhidz waladan.

Salah seorang sahabat kami telah menyebut bahwa sunah mengucapkan dalam sembahyang apa yang telah kami kemukakan dan dalam hadits Abu Huarairah berkenaan dengan ketiga surat itu. Demikian jugalah disunahkan mengucapkan lainnya dari yang kami sebutkan dan yang semakna dengannya. Wallahua’lam.

Masalah ke-55:

Bacaan Al-Qur’an yang dimaksudkan sebagai Kalam. Ibnu Abi Dauwd menyebutkan adanya perselisihan berkenaan dengan hal ini. Diriwayatkan dari Ibrahim An-Nakha’I ra bahwa dia tidak suka membaca Al-Qur’an dengan tujuan urusan dunia.

Diriwayatkan dari Umar Ibnu Khattab ra bahwa dia membaca dalam sembahyang Maghrib di Mekah, (Wattini waz zaituuni) dan menguatkan suaranya dan berkata, (Wa haadzal baladil amiini). Diriwayatkan dari Hukaim bin Sa’ad bahwa seorang lelaki dari Al-Muhakkamati datang kepada Ali yanbg sedang menunaikan sembahyang Subuh, kemudian berkata, Lain asyrakta layahbathanna amaluka (jika kamu mempersekutukan-Tuhanniscaya akan sia-sialah amalmu. (QS Ar-Ruum 30:60). Maka Ali menjawabnya dalam sembahyang:

Terjemahan: “Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah swt adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah swt itu menggelisahkan kamu).” (QS Ar-Ruum 30:60)

Para sahabat kami mengatakan, apabila seorang manusia minta izin masuk kepada orang yang sedang sembahyang, kemudian orang yang sembahyang itu mengatakan: “Udkhuluuha bi salaamin aaminiin (Masukkal kamu dengan selamat dan aman), maka jika dia maksudkan pembacaan ayat atau membaca ayat dan pemberitahuan, tidaklah batal sembahyangnya. Jika dia mekasudkan mmeberitahu dan tidak ada niat membaca ayat, batallah sembahyangnya.

Masalah ke-56:

Jika dia membaca sambil berjalan, kemudian melalui sejumlah manusia, diutamakan memutuskan bacaan dan memberi salam kepada mereka, kemudian melanjutkan bacaannya. Jika dia mengulangi ta’awwudz, maka perbuatan itu lebih baik. Sekiranya membaca sambil duduk, kemudian ada orang lalu di depannya, maka dikatakan oleh Imam Abul Hasan AlWahidi: “Pendapat yang lebih utama adalah tidak memberi salam kepada pembaca Al-Qur’an karena dia sibuk membaca.”

Dan jika berkata: “Jika seseorang memberi salam kepadanya, cukuplah dia menjawab dengan isyarat.” Masih menurut Abu Hasan, “Jika ingin menjawab dengan lafaz salam, dia bisa menjawabnya kemudian dia mulai membaca isti’adzah dan meneruskan bacaannya.”

Pendapat yang dikemukakan itu lemah. Hal yang jelas adalah kewajiban menjawab lafaz. Para sahabat kami berkata: “Jika orang yang masuk memberi salam pada hari Jumaat dalam keadaan imam berkhutbah, sedangkan kami mengatakan bahwa diam adalah sunah, maka wajiblah ke atasnya menjawab salam menurut pendapat yang lebih sahih di antara dua pendapat. Jika mereka katakan bahwa ini adalah dalam keadaan Khutbah, sedangkan terdapat perselisihan berkenaan dengan kewajiban diam dan pengharaman berbicara, maka dalam keadaan pembacaan yang tidak haram berbicara di dalamnya berdasarkan ijmak adalah lebih utama di samping hukum menjawab salam adalah wajib.” Wallahua’lam.

Sementara itu, jika dia bersin dalam keadaan membaca, maka diutamakan mengucapkan, “Alhamdulillah”. Demikian pula halnya di dalam sembahyang. Sekiranya orang lain bersin sedang dia membaca Al-Qur’an di luar sembahyang dan orang itu mendoakannya dengan mengatakan “Yarhamukallah.”

Sekiranya pembaca Al-Qur’an mendengar Adzan, dia hentikan bacaannya dan menjawabnya dengan mengikutinya mengucapkan lafaz-lafaz adzan dan iqamat, kemudian dia kembali kepada bacaannya. Ini disetujui oleh para sahabat kami.

Jika dia orang punya keperluan dengannya, sedangkan dia dalam keadaan membaca Al-Qur’an dan memungkinkan baginya untuk menjawab orang yang bertanya dengan isyarat yang dapat difamahmi dan dia yakin bahwa hal itu tidak mengecewakan hatinya dan tidak mengganggu hubungan antara keduanya, maka sebaiknya dia menjawabnya dengan isyarat dan tidak menghentikan bacaan. Jika dia menghentikannya, maka hal itu diharuskan. Wallahua’lam.

Masalah ke-57:

Jika datang kepada pembaca Al-Qur’an orabg yang berilmu atau terhormat atau orang tua yang terpandang atau mereka miliki kehormatan sebagai pemimpin atau lainnya, maka tidaklah mengapa berdiri untuk menghormati DAN memuliakannya, bukan karena riya dan membanggakan diri. Bahkan perbuatan itu mustahab (sunah). Berdiri sebagai penghormatan adalah termasuk dari perbuatan Nabi saw dan perbuatan para sahabatnya di hadapan beliau dan dengan perintahnya, serta perbuatan para tabi’in dan ulama yang sholeh setelah mereka.

Telah saya kumpulkan sebagian tentang berdiri dan saya sebutkan di dalamnya hadits-hadits dan athar-athar berkenaan dengan sunahnya dan yang melarangnya. Saya jelaskan kelemahan riwayat yang lemah dan kesahihan riwayat yang sahih daripadanya. Saya sebutkan pula jawaban tentang sangkaan adanya larangan atas hal itu, padahal tiada larangan di dalamnya.

Saya jelaskan semua itu dengan memuji Allah maka siapa yang meragukan sesuatu dari hadits-haditsnya, hendaklah dia mempelajarinya, niscaya dia dapati keterangan yang menghilangkan keraguannya, insya Allah.

Masalah ke-58:

Hukum-hukum berharga yang berkaitan dengan membaca Al-Qur’an dalam sembahyang. Saya sampaikan pembahasan ini secara ringkas karena cukup mansyur dalam kitab-kitab fiqh. Di antaranya wajib membaca AlQur’an dalam sembahyang fardhu berdasarkan ijmak ulama. Kemudian Malik, Imam Asy-Syafi’i, Ahmad dan mayoritas ulama berpendapat, diwajibkan membaca Al-Fatihah dalam setiap rakaat. Abu Hanifah dan jamaah berkata, “Tidak diwajibkan membaca Al-Fatihah untuk selamanya.” Dan katanya: “Tidak wajib membaca Al-Fatihah dalam dua rakaat terakhir.” Pendapat yang lebih benar adalah pendapat pertama. Banyak dalil dari Sunnah yang menyokong pendapat itu. Cukuplah memahami sabda NabI saw dalam hadits sahih:

Terjemahan: “Tidak memadai (sah) sembahyang yang tidak dibaca AlFatihah di dalamnya.”

Mereka sependapat atas sunahnya membaca surat sesudah Al-Fatihah dalam dua rakaat sembahyang Subuh dan dua rakaat pertama dari sembahyang-sembahyang lainnya. Mereka berlainan pendapat tentang anjuran membacanya pada rakaat ke tiga dan keempat. Menurut Imam AsySyafi’i ada dua pendapat tentang hal itu. Menurut madzhab baru (aqaul jadid) ialah tidak disunahkan dan menurut madzhab lama (qaul qadim) disunahkan.

Para sahabat kami mengatakan, jika kami katakan bahwa ahl itu disunahkan, maka tiada perselisihan bahwa pembacaannya tidak lebih dari pembacaan dalam dua rakaat pertama. Mereka berpendapat bahwa pembacaan pada rakaat ketiga dan rakaat keempat adalah sama. Apakah pembacaan pada rakaat pertama lebih panjang daripada rakaat kedua? Maka ada dua pendapat berkenaan dengan perkara tersebut. Pendapat yang lebih kuat (sahih) diantara keduanya menurut mayoritas sahabat kami adalah tidak lebih panjang. Pendapat kedua, yaitu yang sahih menurut para pengkaji adalah lebih panjang.

Itulah pendapat yang terpilih berdasarkan hadits sahih:

Terjemahan: “Bahwa Rasulullah saw lebih memanjangkan bacaan pada rakaat pertama dari pada rakaat kedua.”

Faedahnya ialah supaya orang yang tertinggal bisa mendapat rakaat pertama. Wallahua’lam.

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan, apabila makmum masbuq mendapati dua rakaat terakhir dari sembahyang Zuhur dan lainnya bersama imam, kemudian dia kerjakan dua rakaat baginya, maka diutamakan baginya membaca Surat. Mayoritas sahabat kami berkata demikian ini atas dua pendapat. Setengah dari mereka berkata, ini menurut pendapat yang menganjurkan pembacaan surat dalam dua rakaat terakhir. Manakala menurut lainnya tidaklah diutamakan. Pendapat yang lebih benar adalah pendapat pertama supaya sembahyangnya tidak kosong dari surat. Wallahua’lam.

Ini hukum imam dan orang yang sembahyang sendiri. Sementara makmum, maka jika sembahyangnya pelan bacaannya, wajiblah dia membaca Al-Fatihah dan diutamakan baginya membaca surat. Jika sembahyang itu bacaannya keras, sedang dia mendengar bacaan imam, tidaklah disukai baginya membaca surat.

Adapun tentang kewajiban membaca Al-Fatihah ada dua pendapat. Pendapat yang lebih kuat (sahih) adalah wajib dan pendapat kedua tidak wajib. Jika tidak mendengar bacaan imam, maka yang sahih adalah wajib membaca Al-Fatihah dan diutamakan membaca surat. Tidak dinafikan memang ada orang yang berpendapat wajib membaca Al-Fatihah da tidak sunah membaca Surat. Wallahua’lam.

Wajib membaca Al-Fatihah pada rakaat pertama dari sembahyang jenazah. Manakala membaca Al-Fatihah dalam sembahyang nafilah, maka mesti dilakukan. Para sahabat kami berlainan pendapat berkenaan dengan penanamannya dalam sembahyang. Al-Qaffal berkata, dia dinamakan kewajiban. Kawannya Qadhi Husain berkata, dia dinamakan syarat.

Orang lainnya berkata, dia dinamakan rukun dan itulah yang benar. Wallahua’lam.

Orang yang tidak mampu membaca Al-Fatihah dalam semua ini maka hendaklah dia menggantinya dengan membaca ayat-ayat yang setara dengannya dari Al-Qur’an. Jika tidak mempu membaca sesuatu, dia berdiri sekedar lamanya bacaan Al-Fatihah kemudian rukuk. Wallahua’lam.

Masalah ke-59:

Tidaklah mengapa jika menggabungkan dua surat dalam satu rakaat. Mengikut riwayat yang terdapat di dalam shahihain (Bukhari dan Muslim) dari hadits Abdullah bin Mas’ud ra, katanya: “Aku telah mengetahui suratsurat dimana pernah Rasulullah saw menggabungkannya. Dia menyebut dua puluh surat dari Al-Mufashshal, setiap dua surat dalam rakaat. Telah kami kemukakan dari jamaah Salaf pembacaan berkhatam dalam satu rakaat.

Masalah ke-60:

Para Ulam muslim sependapat atas sunahnya membaca dengan suara kuat dalam sembahyang Subuh, Jumaat, dua hari raya dan dua rakaat dari sembahyang Maghrib dan Isyak, sembahyang Tarawih dan Witir sesudahnya. Ini adalah mustahab bagi imam dan orang yang sembahyang sendirian. Sementara makmum, maka ia tidak menguatkan suaranya sesuai dengan ijmak. Sunah membaca dengan suara kuat dalam sembahyang gerhana bulan dan tidak membaca dengan keras dalam sembahyang gerhana Matahari, membaca dengan keras dalam sembahyang Istisqa’ (minta hujan) dan tidak membaca dengan suara kuat dalam sembahyang jenazah, jika sembahyangnya berlangsung pada waktu siang, demikian jugalah di malam hari menurut madzhab yang sahih dan terpilih.

Tidak membaca dengan suara kuat dalam sembahyang nawafil siang hari kecuali sembahyang Hari Raya dan Istisqa’. Para sahabat kami berlainan pendapat berkenaan dengan sembahyang nawafil(sunah) di malam hari. Pendapat yang lebih tepat adalah tidak membaca dengan suara kuat. Pendapat kedua membaca dengan suara kuat. Pendapt ketiga, yaitu yang lebih sahih dan didukung bersama oleh Al-Qadhi Husain dan Al-Baghawi ialah membaca antara kuat dan pelan.

Sekiranya tertinggal sembahyang pada waktu malam, kemudian dia mengqadhanya pada waktu siang atau tertinggal pada waktu siang dan mengqadahnya di malam hari, sama saja dikira dalam bacaan kuat dan bacaan pelan waktu yang tertinggal itu ataukah waktu qadha?

Berkenaan dengan perkara tersebut ada dua pendapat dari pada sahabat kami. Pendapat yang lebih tepat adalah dikira waktu qadha.

Sekiranya membaca dengan kuat di tempat bacaan pelan atau membaca dengan pelan di tempat bacaan kuat, maka sembahyangnya sah, tetapi melakukan perbuatan yang makruh dan tidak sujud karena lupa.

Ingatlah bahwa bersuara pelan dalam mereka membaca Al-Qur’an, takbir dan dzikir-dzikir lainnya adalah dengan mengucapkannya sehingga terdengar oleh dirinya dan mesti diucapkan kalau pendengarannya sehat dan tidak ada penghalangnya. Jika dirinya tidak mendengar bacaannya, maka tidak sah bacaannya ataupun dzikir-dzikir lainnya tanpa ada perselisihan.

Masalah ke-61:

Para sahabat kami berkata, disunahkan bagi imam dalam sembahyang yang kuat bacaannya agar diam empat kali dalam keadaan berdiri.

1.Diam sesudah takbiratul ihram untuk membaca doa tawajjuh dan para makmum membaca takbir.
2.Sesudah Al-Fatihah diam sebentar saja antara akhir Al-Fatihah dan uacapanm Aamiin supaya tidak timbul sangkaan bahwa Aamiin termasuk Al-Fatihah
3.Diam lama setelah mengucapkan Aamiin.
4.Setelah membaca surat untuk memisahkan dengannya antara pembacaan surat dan takbir untuk melakukan rukuk.

Masalah ke-62:

Disunahkan bagi setiap pembaca, sama saja dalam sembahyang atau di luar sembahyang, jika selesai membaca Al-Fatihah agar menguacapkan Aamiin. Hadits-hadits berkenaan dengan perkara tersebut banyak dan mansyur. Telah kami kemukakan dalam bab sebelumnya bahwa disunahkan memisahkan antara akhir Al-Fatihah dan ucapan Aamiin dengan diam sebentat. Aamiin artinya: “Ya Allah, kabulkanlah. Tidak dinafikan memang ada orang yang berpendapat, “Demikianlah, maka jadilah.”

Ada orang yang berpendapat, lakukanlah. Ada orang yang berpendapat artinya tidak ada seorangpun yang dapat melakukan ini selain Engkau.

Tidak dinafikan memang ada orang yang berpendapat artinya “Jangan sia-siakan harapan kami.” Ada orang yang berpendapat, artinya adalah “Ya Allah, selamatkanlah kami dengan kebaikan.” Ada orang yang berpendapat, ia pelindung dari Allah swt untuk hamba-hamba-Nya dengan menolak berbagai bencana dari mereka. Ada orang yang berpendapat, ia adalah derajat di Syurga yang dianugerahkan kepada siapa yang mengucapkannya. Ada orang yang berpendapat, ia adalah salah satu nama Allah swt Para pengkaji menolak pendapat ini. Ada orang yang berpendapat, ia adalah nama Ibrani yang tidak diarabkan. Abu Bakar Al-Warraq berkata, ia adalah kekuatan untuk berdoa dan permintaan turunnya rahmat. Ad orang yang berpendapt selain itu.

Terdapat beberapa cara mengucapkan Aamiin. Para ulama berkata, yang paling fasih adalah Aamiin dengan memanjangkan Hamzah dan meringankan mim, cara kedua dengan memendekkannya. Kedua pendapat ini mansyur. Cara ketiga dengan imaalah diserta mad. Al-Wahidi menceritakan hal itu dari Hamzah dan Al-Kisaa’i. Cara keempat dengan tasydid pada mim disertai mad. Al-Wahidi menceritakannya dari Al-Hasan dan Al-Husain bin Al-Fudhail.

Katanya: itu ditegaskan oleh apa yang diriwayatkan dari Jaafar AshShidiq ra, katanya: Artinya adalah kami menuju kepada-Mu sedang Engkau Maha Pemurah hingga tidak menyia-nyiakan orang yang menuju. Ini pendapat Al-Wahidi. Cara keempat ini asing sekali. Kebanyakan ahli bahasa menganggapnya sebagai kesalahan ucapan dari golongan orang awam.

Sebagian dari sahabat kami berpendapat, barangsiapa mengucapkan cara keempat, batallah sembahyangnya. Ahli bahasa Arab berkata, haknya dalam bahasa Arab adalah waqaf (berhenti) karena kedudukannya seperti suara. Jika disambung, huruf nuun diberi harakat fathah karena adanya pertemuan dua sukun sebagaimana dia diberi harakat fathah pada Aina dan Kaifa, maka tidak diberi harakat kasrah karena beratnya bacaan kasrah sesudah ya’. Inilah penjelasan yang berkaitan dengan lafaz Aamiin.

Saya telah menjelaskan hal itu dengan banyak bukti dan pendapat tambahan dalam kitab Tahdziibul Asmaa’ wal Lughaat.

Para ulama berkata, diutamakan mengucapkan Aamiin dalam sembahyang bagi imam, makmum dan orang yang sembahyang sendirian. Imam dan orang yang sembahyang sendirian membaca Aamiin dengan suara kuat dalam sembahyang yang jahar bacaannya. Mereka berlainan pendapat berkenaan dengan bacaan kuat oleh makmum. Pendapat yang sahih ialah membaca dengan suara kuat. Pendapat kedua tidak membaca dengan suara kuat. Pendapat ketiga membaca dengan suara kuat jika banyak jumlahnya. Kalau tidak banyak, maka tidak membaca dengan kuat. Ucapan Aamiin oleh makmum bersamaan dengan ucapan Aamiin oleh imam, tidak sebelumnya ataupun sesudahnya sesuai dengan sabda Nabi saw dalam hadits sahih:

Terjemahan: “Jika imam mengucapkan ‘Wa ladhdhaalliin,’ ucapkanlah ‘Aamiin’ karena barangsiapa yang ucapan ‘Aamiin’nya bertepatan dengan ucapan ‘Aamiin’ para malaikat, maka Allah mengampuni dosanya yang terdahulu.”

Manakala sabda Nabi saw dalam hadits sahih: “Jika imam mangucapkan Aamiin, maka ucapkanlah Aamiin.” Artinya ialah apabila ingin mengucapkan Aamiin.

Para sahabat kami berkata, tidak ada dalam sembahyang suatu tempat yang diutamakan agar ucapan makmum bersamaan dengan ucapan imam, kecuali dalam ucapan Aamiin. Sementara dalam ucapan-ucapan lainnya, maka ucapan makmum datang kemudian setelah imam.

Masalah ke-63:

Sujud Tilawah. Para ulama sependapat atas perintah melakukan Sujud Tilawah. Mereka berlainan pendapat sama saja perintah itu merupakan sunah atau wajib?

Majoriti ulama mengatakan, tidak wajib, tetapi mustahab (sunah). Ini pendapat Umar Ibnu Al-Khattab ra, Ibnu Abbas, Imran bin Hushairi, Malik, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tahur, Dawud dan lainnya.

Abu Hanifah rahimahullah berkata, hukumnya wajib. Dia berhujah dengan firman Allah swt:

Terjemahan: “Mengapa mereka tidak beriman. Dan apabila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud.” (QS Al-Insyiqaaq 84:20-21)

Majoriti ulama berhujah dengan hadsi sahih dari Umar Ibnu AlKhattab ra, “Bahwa dia membaca di atas mimbar pada hari Jumaat surat AnNaml hingga sampai ayat sajadah, dia turun kemudian sujud dan orang lain pun sujud. Sehingga pada hari Jumaat berikutnya dia membacanya hingga tiba pada ayat sajadah, katanya: ‘Wahai para manusia. Sesungguhnya kita melalui tempat sujud, maka barangsiapa yang sujud, dia telah melakukan sesuatu yang benar. Dan siapa yang tidak sujud, dia tidak berdosa,’ dan Umar tidak sujud.” (Riwayat Bukhari)

Perbuatan dan perkataan Umar ra di majelis ini adalah dalil yang jelas.

Sementara jawaban terhadap ayat yang dijadikan hujjah oleh Abu Hanifah ra adalah jelas karena yang dimaksud adalah mencela mereka yang meninggalkan sujud sebagai ungkapan pendustaan, sebagaimana firman Allah swt sesudahnya:

Terjemahan: “Bahkan orang-orang kafir itu mendustakan (nya)” (QS Al-Insyiqaaq 84:22)

Diriwayatkan dalam Shahihain dari Zaid bin Thabit ra. “bahwa dia membca di hadapan Nabi saw. ‘Wa-Najmi’ dan beliau tidak sujud.”

Diriwayatkan dalam Shahihain “bahwa Nabi saw sujud ketika membaca surat An-Najm.” Maka semua itu menunjukkan bahwa Sujud Tilawah tidak wajib.

Masalah ke-64:

Penjelasan tentang jumlah Sujud Tilawah dan tempatnya. Manakala jumlahnya sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i rahimahullah danm mayoritas ulama adalah 14 sajadah, yaitu: Surat Al-A’raaf, Ar-Ra’ad, AnNahl. Al-Israa’, Maryam, dalam surat Al-Hajj ada dua sujud, Al-Furqan, AnNaml, Alif Laam Tanziil, Haa Mim As-Sajadah, Al-Insyiqaaq dan Al-‘Alaq.

Sementara sajadah dalam surat Shaad, maka hukumnya mustahab dan tidak ditekankan untuk melakukan sujud. Diriwayatkan dalah Shahih Muslim dari Ibnu Abbas ra, katanya: “Sajadah dalam surat Shaad bukanlah sujud yang ditekankan dan aku telah melihat Nabi saw sujud pada ayat itu. “Ini adalah madzhab Asy’Asy-Syafi’i dan orang yang berpendapat seperti dia.

Abu Hanifah berkata, jumlahnya ada 14 sajadah, tetapi dia menggugurkan sajadah kedua surat Al-Hajj dan menetapkan sajadah dalam surat Shaad serta menjadikannya sebagai sajadah yang diharuskan sujud. Diriwayatkan dari Ahmad ada dua riwayat. Yang satu seperti Asy’Asy-Syafi’i dan yang kedua ada 15 sajadah dengan tambahan dalam surat Shaad. Ini adalah pendapat Abul Abbas bin Syuraih dan Abu Ishaq Al-Marzuki dari pengikut Asy-Syafi’i dan paling terkenal dari keduannya adalah 11 sajadah. Dia menggugurkan sajadah dalam surat An-Najm, Al-Insyiqaaq dan Al- ‘Alaq.

Ini adalh pendapat lama dari Asy-Syafi’i dan yang sahih adalah apa yang kami kemukakan. Hadits-hadits yang sahih menunjukkan hal itu. Manakala tempat Sujud Tilawah terdapat pada:
1.    Akhir Surat Al-A’raf:
Terjemahan: “Sesungguhnya malaikat-malaikat yang disisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan menyembah Allah swt dan mereka mentasbihkanNya dan hanya kepada-Nyalah mereka bersujud.” (QS Al-A’raf 7:206)

2.    Dalam surat Ar-Ra’d ialah sesudah firman Allah ‘Azza wa Jalla:
Terjemahan: “… pada waktu pagi dan petang hari.” (QS Ar-Ra’d 13:15)

3.    Dalam surat An-Nahl:
Terjemahan: “…dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).” (QS An-Nahl 16:50)

4.    Dalam Al-Israa’:
Terjemahan: “… dan mereka bertambah khusyuk.” (QS Al-Israa’ 17:109)

5.    Dalam Surat Maryam:
Terjemahan: “… maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangsis.” (QS Maryam 19:58)

6.    Sajadah pertama dari surat Al-Hajj ialah:
Terjemahan: “…Sesungguhnya Allah swt berbuat apa yang dia kehendaki.” (QS Al-Hajj 22: 18)

7.    Sajadah kedua dalam surat Al-Hajj:
Terjemahan: “…berbutlah kebajikan supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS Al-Hajj 22:77)

1.    Dalam surat Al-Furqan:
Terjemahan: “…dan (perintah sujud itu) menambah mereka jauh dari (iman).” (QS Al-Furqan 25:60)

8.    9. Dalam surat An-Naml:
Terjemahan:“… Tuhan Yang Mempunyai ‘Arasy yang agung.” (QS An-Naml 27:26)

9.    10. Dalam surat Alif Laam Mim Berita:
Terjemahan: “… sedang mereka tidak menyombongkan diri.” (QS As-Sajadah 32: 5)

10. 11. Dalam Surat Haa Mim:
Terjemahan: “…sedang mereka tidak merasa jemu.” (QS Fushshilat 41:15)

11. 12. Akhir surat An-Najm:
Terjemahan: “Maka bersujudlah kepada Allah swt dan sembahlah (Dia).” (QS An-Najm 53:62)

12. 13. Dalam surat Al-Insyiqaaq:
Terjemahan: “… mereka tidak sujud.” (QS Al-Insyiqaaq 84:21)

13. 14. Dan bacalah di akhir surat Al-‘Alaq (QS ke-19)
Terjemahan: “Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan).” (QS Al-‘Alaq 96:19)

Tidak ada perselisihan yang berarti berkenaan dengan suatu tempatnya, kecuali berkenaan dengan sajadah yang terdapat dalam surat Haa Mim. Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Imam Asy-Syafi’i dan para pengikutnya berpendapat bahwa tempatnya adalah apa yang kami sebutkan, yaitu sesudah yas-amuuna. Ini adalah madzhab Said Ibnu Musayyab, Muhammad bin Sirin, Abu Waail Syaqiq bin Salamah, Sufyan Ath-Thauri, Abu Hanifah, Ahmad dan Ishaq bin Rahaqaih. Orang lainnya berpendapat bahwa tempatnya sesudah firman Allah swt In Kuntum iyyaahu ta’ buduun (QS Fushshilat: 37).

Ibny Nundzir menceritakannya dari Umar Ibnul Khattab, Hasan AlBashri dan para pengikut Abdullah bin Mas’ud, Ibrahim An-Nakha’I, Abu Shahih, Thalhah bin Masharif, Zubaid Ibnul Harith, Malik bin Anas dan AlLaith bin Sa’ad. Ini adalah pendapat sebagian pengikut Asy-Syafi’i, AlBaghawi menceritakannya dalam At-Tahdziib.

Sementara pendapat Abul Hasan Ali bin Said Al-Abdi salah seorang sahabat kami dalam kitabnya Al-Kifayah berkenaan dengan perselisihan fuqaha di kalangan kami, bahwa sajadah dalam surat An-Naml ayat 25, adalah pada firman Allah swt, Wa ya’lamu maayukhfuuna wamaa yu’linuun, berkata bahwa iniadalah madzhab sebagian besar fuqaha.

Malik berkata, bahwa sajadah itu pda firman Allah swt, Rabbul ‘arsyil ‘azhiim (QS An-Naml: 26)

Pendapat ini yang dipetik dari madzhab kami dan madzhab sebagian besar fuqaha yang tidak dikenal dan tidak diterima, tetapi merupakan kesalahan yang nyata. Inilah kitab-kitab para sahabat kami yang menegaskan bahwa sajadah itu pada firman Allah swt, Rabbul ‘arsyil ‘Azhiim.

Masalah ke-65:

Hukum Sujud Tilawah sama dengan hukum sembahyang, nafilah dalam pensyaratan suci dari hadas dan najis, menghadap kiblat dan menutup aurat. Maka haram Sujud Tilawah pada orang yang di badan atau bajunya terdapat najis yang tidak dapat dimaafkan. Dan haram atas orang yang berhadas, kecuali jika dia bertayamum di suatu tempat yang diharuskan bertayamum.

Diharamkan pula menghadap selain kiblat, kecuali dalam perjalanan di mana bisa menghadap selain kiblat dalam sembahyang nafilah. Semua ini disetujui oleh para ulama.

Masalah ke-66:

Jika membaca sajadah (dalam Surat Shaad), orang yang berpendapat bahwa dalam surat itu merupakan ketentuan tempatnya Sujud Tilawah, maka dia berkata, bisa sujud sama saja ketika dia membacanya di dalam sembahyang atau di luarnya sebagaimana sajadah-sajadah lainnya. Manakala Asy-Syafi’i dan lainnya berpendapat bahwa pada tempat itu tidak termasuk tempat tujuan Sujud Tilawah, maka mereka berkata, apabila membacanya di luar sembahyang, diutamakan baginya sujud karena Nabi saw sujud pada tempat itu sebagaimana kami kemukakan.

Jika membacanya dalam sembahyang, dia tidak sujud. Jika sujud, sedang dia tidak tahu atau lupa, tidaklah batal sembahyangnya, tetapi dia lakukan sujud Sahwi. Jika dia mengetahui, maka pendapat yang shahih adalah batal sembahyangnya karena dia menambah dalam sembahyang sesuatu yang bukan termasuk dari sembahyang, maka batallah sembahyangnya. Sebagaimana jika dia lakukan sujud syukur, maka sujud itu membatalkan sembahyangnya tanpa ada perselisihan.

Pendapat kedua adalah tidak batal karena berkaitan dengan sembahyang. Sekiranya imamnya sujud pada sajadah dalam surat Shaad karena dia meyakininya termasuk sajadah yang ditekankan untuk sujud sedang makmum tidak menyakininya, maka dia tidak mengikuti imam, tetapi memsisahkan diri daripadanya atau menunggunya sambil berdiri. Jika menunggunya, apakah makmum itu melakukan sujud Sahwi? Berkenaan dengan perkara tersebut ada dua pendapat. Pendapat yang lebih tepat adalah tidak sujud.

Masalah ke-67:

Berkenaan dengan orang yang disunahkan untuk Sujud Tilawah. Ingatlah bahwa disunahkan melakukan Sujud Tilawah bagi pembaca AlQur’an yang bersuci dengan air atau tanah, sama saja dalam sembahyang atau di luarnya. Disunahkan pula bagi orang yang mendengar dan orang yang mendengar tanpa sengaja. Bagaimanapun Imam Asy-Syafi’i berkata, bahwa saya tidak menekankan ke atasnya sebagaimana saya tekankan bagi orang yang mendengar. Inilah pendapat yang shahih.

Imamul Haramain sahabat kami berkata, bahwa orang yang mendengar tidak perlu sujud. Pendapat yang mansyur adalah pendapat pertama. Tiada bedanya sama saja pembacanya dalam sembahyang atau di luar sembahyang disunahkan bagi orang yang mendengar ataupun yang mendengar untuk sujud. Sama saja pembacanya sujud atau tidak. Inilah pendapat yang shahih dan mansyur menurut para sahabat Asy-Syafi’i, Abu Hanifah juga menyatakan demikian. Sahibul Bayaan dari Ash-Habusy AsySyafi’i menyatakan, bahwa orang yang mendengar bacaan orang yang membaca di dalam sembahyang, tidak perlu sujud.

Ash-Shaidalani sahabat Asy-Syafi’i berkata, bahwa tidak disunahkan sujud, kecuali jika pembacanya sujud. Pendapat yang lebih benar adalah pendapat pertama. Tidak ada bedanya sama saja pembacanya seorang muslim laki-laki yang sudah baligh dan bersuci atau sorang kafir atau anak kecil atau berhadas atau seorang perempuan. Ini adalah pendapat yang sahih menurut pendapat kami dan Abu Hanifah juga berkata demikian.

Sebagian sahabat kami berkata, bahwa tidak perlu sujud untuk bacaan orang kafir, anak kecil, orang yang berhadas dan orang yang mabuk. Sejumlah ulama Salaf berkata, bahwa tidak perlu sujud untuk bacaan orang perempuan. Ibnul Munzir menceritakannya dari Qatadah, Malik dan Ishaq. Pendapat yang lebih benar adalah apa yang kami kemukakan.

Masalah ke-68:

Tentang meringkas sujud Tilawah. Yang dimaksud adalah membaca satu atau dua ayat, kemudian sujud. Ibnul Mundzir menceritakan dari AsySya’bi, Hasan Al-Bashri, Muhammad bin Sirin, An-Nakha’I, Ahmad dan Ishaq bahwa mereka tidak menyukai hal itu. Diriwayatkan daripada Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan dan Abu Thsaur bahwa hal itu tidak ada masalah denganya dan ini sesuai dengan madzhab kami.

Masalah ke-69:

Jika sembahyang sendirian, dia bisa sujud untuk bacaan dirinya sendiri. Seandainya dia meninggalkan Sujud Tilawah dan rukuk, kemudian ingin sujud untuk tilawah sesudahnya, maka tidak bisa. Jika sudah merebahkan diri untuk rukuk tetapi belum sampai ke batas rukuk, maka bisa melakukan Sujud Tilawah. Jika dia lakukan dengan mengetahuinya, batallah sembahyangnya. Jika dia sudah merebahkan dirinya untuk sujud Tilawah, kemudian teringat dan berdiri semula, maka hal itu bisa.

Sementara jika orang yang sembahyang sendirian mendengar bacaan seorang pembaca dalam sembahyang atau lainnya, maka dia tidak bisa sujud karena mendengarnya. Jika dia sujud dengan mengetahui, batallah sembahyangnya.

Manakala orang yang sembahyang berjamaah, apabila dai sebagai imam, maka dia seprti orang yang sembahyang sendirian. Jika Imam Sujud Tilawah karena bacaannya sendiri, wajiblah atas makmum untuk sujud bersamanya. Jika tidak dilakukannya, batallah sembahyangnya, Jika imam tidak sujud, maka makmum tidak bisa sujud. Jika makmum sujud, batallah sembahyangnya. Bagaimanapun diutamakan baginya untuk sujud jika selesai sembahyang dan tidak ditekankan.

Sekiranya imam sujud sedang makmum tidak tahu hingga imam mengangkat kepalanya dari sujud, maka dia dimaafkan atas ketertinggalannya dan dia tidak bisa sujud. Sekiranya dia mengetahui sedang imam dalam keadaan sujud, wajiblah dia sujud. Sekiranya dia rebahkan diri untuk sujud, kemudian imam mengangkat kepalanya ketika dia sedang bergerak untuk sujud, maka dia mesti berdiri semula bersamanya dan tidak bisa sujud.

Demikian orang lemah yang merebahkan untuk sujud bersama imam, apabila imam bangkit dari sujud sebelum orang yang lemah itu sampai ke tempat sujud lantaran cepatnya imam dan lambatnya makmum yang lemah itu, maka dia kembali bersamanya dan tidak bisa meneruskan sujud.

Sementara jika orang yang sembahyang itu sebagai makmum, maka dia tidak bisa sujud karena bacaannya sendiri ataupun karena bacaan selain imamnya. Jika dia sujud, batallah sembahyangnya. Dan makruh baginya membaca ayat sajadah dan mendengar pada bacaan selain imamnya.

Masalah ke-70:

Waktu sujud Tilawah. Para Ulama berkata, bahwa sujud Tilawah itu mesti dilakukan sesudah ayat sajadah yang dibaca atau didengarnya. Jika dia tangguhkan dan tidak lama selang waktunya, dia bisa sujud. Jika lama selang waktunya, maka telah berlalu waktu sujudnya dan tidak perlu mengqadha menurut madzhab yang sahih dan masyhur, sebagaimana sembahyang gerhana matahari tidak bisa di qadha. Salah seorang sahabat kami berkata, bahwa ada pendapat lemah yang mengatakan bahwa sujud itu bisa di qadha sebagaimana mengqadha sunah-sunah rawatib, seperti sunah Subuh, Zuhur dan lainnya.

Kalau pembaca atau pendengarnya berhadas ketika membaca sajadah, kemudian bersuci dalam waktu yang tidak lama, dia bisa sujud. Jika bersucinya terlambat hingga lama selang waktunya, maka pendapat yang sahih dan terpilih yang ditetapkan oleh sebagian besar ulama adalah tidak sujud.

Ada orang yang berpendapat bahwa dia bisa sujud. Ini adalah pilihan Al-Baghawi sahabat kami. Dia pun bisa menjawab muadzin (orang yang azan) setelah selesai sembahyang. Hal yang dikira berkenaan dengan lamanya selang waktu dalam hal ini adalah menurut kebiasaan sebagai madzhab terpilih. Wallahua’lam.

Masalah ke-71:

Jika seluruh ayat sajadah atau beberapa sajadah dibaca dalam suatu majelis, maka dia sujud pada setiap sajadah tanpa ada perselisihan. Jika dia mengulangi bacaan satu ayat dalam beberapa majelis, maka dia sujud untuk setiap kali sajadah tanpa ada perselisihan. Jika dia mengulanginya dalam satu majelis, maka ada beberapa pandangan. Jika tidak sujud untuk kali pertama, cukuplah baginya sekali sujud untuk semuanya. Jika dia sujud untuk kali yang pertama, maka ada tiga pendapat berkenaan dengan puasaerkara tersebut. cara yang lebih sahih adalah sujud sekali untuk setiap bacaan karena adanya sebab baru setelah memenuhi hukum yang pertama.

Pendapat kedua, cukuplah baginya sujud setelah bacaan pertama untuk semuanya. Ini adalah pendapat Ibnu Surajj dan MerekaAzhab Abu Hanifah rahimahullah. Penulis Al-‘Uddah sahabat kami berkata, inilah yang difatwakan. Asy-Syeikh Nashr Al-Maqdisi Az-Zaahid sahabat kami memilih pendapat ini.

Pendapat ketiga, jika selang waktunya berlangsung lama, dia bisa sujud. Kalau tidak, cukuplah baginya sujud karena sajadah yang pertama. Jika satu ayat dibaca berulang-ulang dalam sembahyang dan kalau hal itu dilakukan dalam satu rakaat, maka seperti satu majelis. Kalau berlangsung dalam dua rakaat, maka dia seperti dua majelis hingga dia ulangi sujudnya tanpa ada perselisihan.

Masalah ke-72:

Jika membaca sajadah sambil menaiki kendaraan dalam perjalanan, dia bisa sujud dangan memberi isyarat. Ini adalah madzhab kami, Imam Malik, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad, Ahmad, Zufar, Dawud dan lainnya. Seorang sahabat Abu Hanifah berkata dia, tidak perlu sujud. Pendapat yang lebih banar adalah madzhab mayoritas ulama. Manakala orang yang menaiki kendaraan di tempat menetap, maka dia tidak bisa sujud dengn memberi isyarat.

Masalah ke-73:

Jika dia membaca ayat sajadah dalam sembahyang sebelum AlFatihah, maka dia bisa sujud. Lain halnya jia dia membaca dalam rukuk atau sujud, maka dia tidak bisa sujud. Karena berarti adalah tempat membaca. Sekiranya dia membaca sajadah, kemudian merebahkan diri untuk sujud, kemudian dia ragu sama saja membaca Al-Fatihah atau belum, maka dia bisa sujud untuk tilawah. Kemudian dia berdiri lagi dan membaca Al-fatihah karena Sujud Tilawah tidak bisa ditangguhkan.

Masalah ke-74:

Jika seseorang membaca sajadah dengan bahasa Parsi, maka menurut pendapat kami tidak perlu sujud, sebagaimana jika ayat sajadah itu ditafsirkan. Namun Abu Hanifah berpendapat bisa sujud.

Masalah ke-75:

Jika orang yang mendengar ayat sajadah itu sujud bersama pembaca, dia tidak terikat dengannya dan tidak berniat mengikutinya dan dia bisa bangkit dari sujud sebelumnya.

Masalah ke-76:

Tidaklah makruh pembacaan ayat sajadah oleh imam, menurut pendapat kami, sama saja dalam sembahyang yang pelan bacaannya atau dalam sembahyang yang jahar bacaannya dan dia bisa sujud jika membacanya.

Dalam hal ini Imam Malik berpendapat, bahwa sujud tidak disukai sama sekali. Abu Hanifah berpendapat, Makruh sujud Tilawah dalam sembahyang yang pelan bacaannya, bukan sembahyang yang jahar bacaannya.

Masalah ke-77:

Menurut pendapat kami tidak makruh Sujud Tilawah dalam waktuwaktu yang dilarang sembahyang. Ini juga merupakan pendapat Asy-Sya’bi, Hasan Al-Bashri, Salim bin Abdullah, Al-Qasim, Atha’, Ikrimah, Abu Hanifah, Ashabur Ra’yi dan Malik dalam salah satu dari dua riwayat. Sejumlah ulama tidak menyukai hal itu. Diantara mereka adalah Abdullah bin Umar, Sa’id, Ibnul Musayyab dan Malik dalam riwayat lain, Ishaq bin Rahawaih dan Abu Thaur.

Masalah ke-78:

Rukuk tidak bisa manggantikan kedudukan sujud Tilawah dalam keadaan ikhtiar. Ini mazhab kami dan madzhab mayoritas Ulama Salaf dan Kalaf. Abu Hanifah rahimahullah berpendapat, rukuk bisa menggantikannya. Dalil yang dipakai oleh mayoritas adalah mengkiaskannya dengan sujud dalam sembahyang. Sementara orang yang tidak sanggup sujud, maka dia memberi isyarat untuk Sujud Tilawah sebagaimana dia memberi isyarat untuk sujud dalam sembahyang.

Masalah ke-79:

Tentang sifat sujud. Ingatlah bahwa orang yang melakukan sujud Tilawah mempunyai dua keadaan. Yang pertama, di luar sembahyang dan yang kedua di dalam sembahyang.

Manakala keadaan pertama, maka jika dia ingin sujud, dia niatkan Sujud Tilawah dan melakukan takbiratul ihram dan mengangkat kedua tangan sejajar dengan kedua bahunya sebagaimana dia melakukan takbiratul ihram untuk sembahyang. Kemudian dia takbir lagi untuk Sujud Tilawah tanpa mengangkat tangan. Takbir yang kedua ini mustahab, bukan syarat, seperti takbir sujud untuk sembahyang. Sementara takbir yang pertama, yaitu takbiratul ihram, maka ada tiga pendapat dari sahabat-sahabat kami.

Pendapat pertama adalah yang paling tepat yaitu pendapat sebagian besar dari mereka, bahwa takbir yang pertama (takbiratul ihram) merupakan rukun dan tidak sah sujud Tilawah kecuali dengannya.

Pendapat kedua adalah mustahab. Sekiranya takbir itu ditinggalkan sujudnya tetap sah. Ia adalah pendapat Asy-Syeikh Abu Muhammad AlJuwaini.

Pendapat ketiga tidak mustahab. Wallahua’lam.

Kemudian, jika orang yang ingin sujud itu dalam keadaan berdiri, dia pun mengucapkan takbiratul ihram, kemudian takbir untuk sujud ketika merebahkan diri ke tempat sujud. Jika dalam keadaan duduk, maka jamaah daripada sahabat kami berpendapat: Disunahkan baginya berdiri, kemudian takbiratul Ihram dalam keadaan berdiri kemudian merebahkan diri untuk sujud, sebagaimana halnya ketika permulaan dalam keadaan berdiri.

Dalil pendapat ini adalah mengkiaskan takbiratul ihram dan sujud dalam sembahyang. Orang yang menetapkan ini antara lain imam-imam sahabat kami Asy-Syeikh Abu Muhammad Al-Juwaini dan AlQadhi Husain dan kedua sahabatnya ini adalah penulis At-Titimmah dan At-Tahdzib dan Imam Al-Muhaqiq Abul Qasim Ar-Rafi’i. Imamul Haramainmenceritakannya dari ayahnya Asy-Syeikh Abu Muhammad.

Kemudian dia mengingkarinya dan berkata, saya tidak melihat dasar dikemukakannya alasan perkara ini. Apa yang dikatakan oleh Imamul Haramainini adalah benar. Tidak ada riwayat yang sahih berkenaan dengan hal ini dari pada Nabi saw dan tidak pula dari ulama Salaf yang bisa dibuat sandaran. Mayoritas dari sahabat kami tidak ada yang menyebutnya. Wallahua’lam.

Kemudian ketika sujud dia mesti memperhatikan adab-adab sujud dalam bentuk (haiah) dan tasbihnya. Manakala berkenaan dengan haiahnya, maka dia letakkan kedua tangannya setakat kedua bahunya di atas tanah dan merapatkan jari-jemarinya serta membentangkannya ke arah kiblat dan membentangkan jari-jemarinya dari genggaman sebagaimana orang yang melakukan sujud dalam sembahyang. Dia jauhkan kedua sikunya dari kedua sisinya dan mengangkat perutnya dari kedua pahanya kalau seorang lelaki. Jika dia seorang perempuan, maka dia tidak menjauhkannya. Orang yang sujud mengangkat bagian bawahnya di atas kepalanya dan merapatkan dahi dan hidungnya di atas mushalla (alas tempat sembahyang) dan tenang dalam sujudnya.

Sementara tasbih di dalam sujud, maka para sahabat kami berpendapat, dia bertasbih seperti bertasbih dalam sujud sembahyang. Dia ucapkan tiga kali Subhana Rabbiyal A’la tiga kali.

Kemudian dia ucapkan:

Terjemahan: “Ya Allah, kapada-Mu aku sujud, kepada-Mu aku beriman dan kepada-Mu aku berserah diri. Wajahku sujud kepada Tuhan yang menciptakannya dan membentuk rupanya, membuat pendengaran dan penglihatannya dengan daya dan kekuatan-Nya. Maha Suci Allah sebaik-baik Pencipta.”

Dan dia ucapkan Subbuhun Qudduusun Rabbul malaaikati warruuh.

Semua ini diucapkan orang yang sembahyang dalam sujudnya ketika sembahyang. Para sahabat kami juga berkata, diutamakan mengucapkan:

Terjemahan: “Ya Allah, tulislah bagiku dengan sujud ini pahala di sisiMua dan jadikanlah dia bagiku sebagai simpanan di sisi-Mu, hapuskan dosa dariku dan terimalah dia dariku sebagaimana Engkau menerimanya dari hamba-Mu Dawud as.”

Doa ini khusus bagi sujud ini (Sujud Tilawah), maka patutlah dia selalu dibaca.

Al-Uatad Isma’il Adh-Dharir berkata dalam kitabnya At-Tafsir bahwa pilihan Asy-Syafi’i ra dalam doa sujud Tilawah adalah mengucapkan:

Terjemahan: “Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.” (QS Al-Isra’ 17:108)

Petikan dari Asy-Syafi’i ini aneh sekali dan ia adalah baik. Karena zahir Al-Qur’an menghendaki ucapan pujian di dalam sujud oleh pelakunya. Maka disunahkan menggabungkan antara dzikir-dzikir ini seluruhnya dan berdoa berkenaan dengan urusan-urusan akhirat dan dunia yang diinginkannya. Jika dia batasi pada sebagiannya, sudah cukup bacaan tasbihnya. Sekiranya tidak bertasbih dengan sesuatu apa pun, tercapailah sujudnya seperti halnya sujud dalam sembahyang.

Kemudian ketika selesai dari bertasbih dan berdoa, dia angkat kepalanya sambil bertakbir.

Apakah Sujud Tilwah memerlukan salam? Terdapat dua pendapat yang masyhur dari Asy-Syafi’i. Cara yang lebih sahih dari keduanya menurut majoriti sahabatnya ialah dia memerlukan salam karena memerlukan takbiratul ihram dan menjadi seperti sembahyang jenazah. Di didukung oleh riwayat Ibnu Abi Dawud dengan isnadnya yang sahih dari Abdullah bin Mas’ud ra bahwa apabila membaca ayat sajadah, dia pun sujud, kemudian memberi salam.

Pendapat kedua, tidak memerlukan salam seperti Sujud Tilawah dalam sembahyang karena hal itu tidak dinukil dari pada Nabi saw.

Berdasarkan pendapat pertama, apakah dia memerlukan tasyahud? Terdapat dua pendapat berkenaan dengan perkara tersebut. Cara yang lebih sahih dari keduanya ialah tidak perlu tasyahud, sebagaimana tidak perlu berdiri.

Salah seorang sahabat kami menggabungkan antara dua masalah dan berkata, berkenaan dengan tasyahud dan salam ada tiga pendapat:
1.    Pendapat yang lebih sahih ialah mesti memberi salam tanpa membaca tasyahud.
2.    Pendapat kedua, dia tidak memerlukan salah satu dari keduanya.
3.    Dan pendapat ketiga ialah mesti melakukan keduanya.

Mereka yang berpendapat harus memberi salam, antara lain Muhammad bin Sirin, Abu Abdurrahman As-Salami, Abul Ahwash, Abu Qalabah dan Ishaq bin Rahawain.

Mereka yang berpendapat tidak perlu memberi salam, antara lain Hasan Al-Bashri, Said bin Jubair, Ibrahim An-Nakha’I, Yahya bin Wathab dan Ahmad. Semua ini dalam keadaan pertama, yaitu sujud di luar sembahyang. Keadaan kedua, yaitu melakukan Sujud Tilawah dalam sembahyang, maka dia tidak perlu mengucapkan takbiratul ihram dan diutamakan bertakbir untuk sujud dan tidak mengangkat kedua tangannya serta bertakbir untuk bangkit dari sujud. Inilah pendapat yang sahih dan masyhur yang didukung bersama oleh mayoritas ulama.

Abu Ali bin Abu Huarirah salah seorang sahabat kami berkata, dia tidak perlu bertakbir untuk sujud ataupun untuk bangkit dari sujud. Pendapat yang terkenal adalah pendapat pertama.

Manakala adab-adab dalam haiah dan tasbih dalam Sujud Tilawah adalah seperti dalam sikap sujud yang lalu di luar sembahyang. Kecuali jika orang yang sujud itu menjadi imam, maka hendaklah dia tidak memanjangkan tasbih, kecuali jika dia tahu dari keadaan para makmuk bahwa mereka lebih suka memanjangkannya.

Kemudian, ketika bangkit dari sujud, dia berdiri dan tidak duduk untuk diam sejenak tanpa ada perselisihan. Ini adalah masalah yang aneh dan jarang orang menyebutnya. Di antara yang menyebutnya adalah Al_Qadhi Husain, Al-Baghawi dan Ar-Rafi’i. Ini berlainan dengan sujud sembahyang.

Pendapat yang sahih dan disebutkan oleh Asy-Syafi’i dan terpilih yang tercatat dalam hadits-hadits sahih riwayat Bukhari dan lainnya adalah anjuran untuk duduk istirahat sesudah sujud yang kedua dari rakaat pertama dalam setiap sembahyang dan pada rakaat ketiga dalam sembahyang yang rakaatnya empat.

Kemudian, apabila bangkit dari Sujud Tilawah, maka harus berdiri tegak. Disunahkan ketika berdiri tegak adalah membaca sesuatu, kemudian rukuk. Jika berdiri tegak, kemudian rukuk tanpa membaca sesuatu, maka hukumnya bisa.

Masalah ke-80:

Waktu-waktu terpilih membaca Al-Qur’an. Ingatlah bahwa membaca Al-Qur’an yang paling baik adalah di dalam sembahyang. Manurut madzhab Asy-Syafi’i dan lainnya, bahwa berdiri lama dalam sembahyang lebih baik daripada sujud yang lama.

Sementara membaca Al-Qur’an di luar sembahyang, maka yang paling utama adalah pada waktu malam dan dalam separuh terakhir dari waktu malam lebih baik daripada separuh pertama. Membacanya di antara Maghrib dan Isyak disukai. Manakala pembacaan pada waktu siang, maka yang paling utama adalah setelah sembahyang Subuh dan tidak ada makruhnya membaca Al-Qur’an pada waktu-waktu yang mengandung makan.

Sementara yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Mu’adz bin Rifa’ah dari guru-gurunya bahwa mereka tidak suka membaca Al-Qur’an sesudah Ashar. Waktu itu adalah waktu orang Yahudi belajar. Riwayat itu tidak bisa diterima dan tidak ada dasarnya.

Hari-hari yang terpilih ialah Jumaat, Senin, Kamis dan hari Arafah, sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah; sedang bulan yang paling utama dalah bulan Ramadhan.

Masalah ke-81:

Jika pembaca merasa bingung dan tidak mengetahui tempat sesudah ayat yang telah dicapainya, maka bertanyalah kepada orang lain. Patutlah dia mengacu dengan apa yang diriwayatkan daripada Abdullah Abu Mas’ud, Ibrahium An-Nakha’I dan Basyir bin Abu Mas’ud ra. Mereka berkata, apabila seseorang dari kamu bertanya kepada saudaranya tentang suatu ayat, hendaklah dia membaca ayat yang sebelumnya, kemudian diam dan tidak mengatakan bagaimana bisa begini dan begini, hal itu akan mengelirukannya.

Masalah ke-82:

Jika ingin berdalil dengan suatu ayat, maka dia bisa berkata, Qaalallahu Ta’ala kadza (Allah telah berfirman demikian) dan dia bisa berkata, Allaahu Ta’ala Yaquulu kadza (Allah berfirman demikian). Tidak ada makruhnya sesuatu pun dalam hal ini. Ini adalah pendapat yang sahih dan yang terpilih yang didukung bersama oleh ulama Salaf dan Kalaf.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Mutharif bin Abdullah Ibn Asy-Syakhiir seorang tabi’in yang masyhur, katanya: Janganlah kamu katakan, Innallaaha Ta’ala Yaquulu, tetapi katakanlah, InnAllah swta Ta’ala qaala. Apa yang diingkari oleh Mutharif rahimahullah ini bertentangan dengan apa yang disebut di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dan dilakukan oleh para sahabat serta para ulama setelah mereka-mudah-mudahan Allah swt meridhaoi mereka.

Allah berfirman:

Terjemahan: “Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).” (QS Al-Ahzab 33:4)

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Abu Dzarr ra katanya: Rasulullah saw bersabda, Allah berfirman:

Terjemahan: “Barangsiapa berbuat baik, maka dia mendapat ganjaran sepuluh kali lipat.” (QS Al-An’am 6:60)

Diriwayatkan dalam shahih Muslim dalam bagian Tafsir; “Lan Tanaalul birra hattaa tunfiquu mimmaa tuhibbuun.”

Abu Talhah berkata:

Terjemahan: “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah berfirman:

Terjemahan: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS Ali-Imran 3:92)

Ini adalah pendapat Abu Thalhah di hadapan Nabi saw

Diriwayatkan dalam hadits sahih dari Masruq rahimahullah, katanya: Aku berkata kepada Aisyah ra, bukankah Allah berfirman:

Terjemahan: “Dan sesungguhnya Muhammad itu melihat Tuhan di ufuk yang terang.” (QS At-Takwir 81:23)

Maka Aisyah menjawab, tidaklah engkau mendengar bahwa Allah berfirman:

Terjemahan: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu.” (QS Al-An’am 6:130)

Atau tidakkah engkau mendengar bahwa Allah berfirman:

Terjemahan: “Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berbicara dengan dia, kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir.” (QS Asy-Syuura 26:51)

Kemudian Aisyah berkata dan Allah berfirman:

Terjemahan: “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.” (QS Al-Maidah 5:67)

Kemudian Aisyah berkata dan Allah berfirman:

Terjemahan: “Katakanlah! Tidak ada seorang pun di langit dan dibumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah.” (QS An-Naml 27:65)

Pendapat ini lebih banyak ditemukan dalam pandangan ulama Salaf dan Kalaf. Wallahua’lam.

Masalah ke-83:

Adab-adab berkhatam Al-Qur’an dan segala yang berkaitan dengannya. Dalam bab ini ada beberapa Masalah:

Masalah pertama, berkenaan dengan waktunya telah ditentukan bahwa pengkhataman oleh pembaca sendirian disunahkan untuk dilakukan dalam sembahyang. Ada orang yang berpendapat, disunahkan melakukan pengkhataman itu dalam dua rakaat sunah Fajar dan dalam dua rakaat sunah Maghrib, sedangkan dalam dua rakaat Fajar lebih utama.

Disunahkan pengkhataman Al-Qur’an sekali khatam di awal siang dalam suatu rumah dan mengkhatamkn lainnya diakhir siang di rumah lain. Manakala yang mengkhatamkan di luar sembahyang dalam jamaah yang mengkhatamkan bersama-sama, maka disunahkan pengkhataman mereka berlangsung di awal siang atau di awal malam sebagaimana dikemukakan. Awal siang lebih utama menurut sebagian ulama.

Masalah kedua, diutamakan berpuasa pada hari pengkhataman, kecuali jika bertepatan dengan hari yang dilarang syarak puasa hari itu. Diriwayatkan oleh Ibnu Dawud dengan isnadnya yang sahih, bahwa Thalhah bin Mutharif dan Habib bin Abu Thabit, serta Al-Musayyib bin Raafi’ para tabi’im Kuffah ra, dianjurkan berpuasa pada hari di mana mereka mengkhatamkan Al-Qur’an.

Masalah ketiga, diutamakan sekali menghadiri majelis pengkhataman Al-Qur’an.

Diriwayatkan dalam Shahihain:

Terjemahan: “Bahwa Rasulullah saw menyuruh perempuanperempuan yang haid keluar pada hari raya untuk menyaksikan kebaikan dan doa kaum muslimin.”

Diriwayatkan oleh Ad-Daarimi dan Ibnu Abi Dawud dengan isnadnya dari ibnu Abbas ra bahwa dia menyuruh seseorang memperhatikan seorang yang membaca Al-Qur’an. Jika pembaca Al-Qur’an itu akan khatam, hendaklah dia memberitahukan kepada Ibnu Abbas, sehingga dia dapat menyaksikan berkhatam itu.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dengan dua isnadnya yang sahih dari Qatadah seorang tabi’in besar sahabat Anas ra, katanya: Anas bin Malik ra. Apabila mengkhatamkan Al-Qur’an, dia kumpulkan keluarganya dan berdoa. Dia meriwayatkan dengan isnad-isndnya yang sahih dari Al-Hakam bin Uyainah seorang tabi’in yang mulia.

Katanya: Mujahid dan Utbah bin Lubabah mengutus orang kepadaku, keduanya berkata, kami mengutus orang kepadamu karena kami ingin mengkhatamkan Al-Qur’an. Doa sangat mustajab ketika mengkhatamkan Al-Qur’an. Dalam suatu riwayat yang sahih disebutkan, bahwa rahmat turun ketika mengkhatamkan Al-Qur’an.

Diriwayatkan dengan isnadnya yang sahih dari mujahid, katanya: Mereka berkumpul ketika mengkhatamkan Al-Qur’an dan berkata, rahmat Allah swt turun.

Masalah keempat, berdoa sesudah pengkhataman Al-Qur’an amat disunahkan berdasarkan apa yang kami sebutkan dalam masalah sebelumnya. Diriwayatkan oleh Ad-Daarimi dengan isnadnya dari Humaid Al-A’raj, katanya: Barangsiapa membaca Al-Qur’an, kemudian berdoa, maka doanya diamini oleh 4.000 malaikat. Hendaklah dia bersungguh-sungguh dalam bedoa dan mendoakan hal-hal yang penting serta memperbanyak untuk kebaikan kaum muslimin dan para pemimpin mereka.

Diriwayatkan oleh Al-Hakim Abu Abdillah An-Nisaburi dengan isnadnya bahwa Abdullah Ibn Al-Mubarak ra apabila mengkhatamkan AlQur’an, maka sebagian besar doanya adalah untuk kaum muslimin, Mukminin dan mukminat. Pada waktu yang sama dia juga berkata seperti itu. Maka hendaklah orang yang berdoa memilih doa-doa yang menyeluruh, seperti:

Terjemahan: “Ya Allah, sempurnakanlah hati kami, hilangkanlah keburukan kami, bimbinglah kami dengan jalan yang terbaik, hiasilah kami dengan ketaqwaan, kumpulkanlah bagi kami kebaikan akhirat dan dunia dan anugerahkanlah kami ketaatan kepada-Mu selama Engkau menghidupkan kami.”

Terjemahan: “Ya Allah, mudahkanlah kami ke jalan kemudahan dan jauhkanlah kami dari kesukaran, lindungilah kami dari keburukan diri kami dan amal-amal kami yang buruk, lindungilah kami dari siksa neraka dan siksa kubur, fitnah semasa hidup dan sesudah mati serta fitnah Al-Masih AdDajjal.”

Terjemahan: “Ya Allah, kami mohon kepada-Mu petunjuk, kekuatan, kesucian diri dak kecukupan.”

Terjemahan: “Ya Allah, Kami amanahkan pada-Mu agama, jiwaraga dan penghabisan amal-amal kami, keluarga dan orang-orang yang kami cintai, kaum muslimin lainnya dan segala urusan akhirat dan dunia yang Engkau anugerahkan kepada kami dan mereka.”

Terjemahan: “Ya Allah, kami mohon kepada-Mu maaf dan keselamatan dalam agama, dunia dan akhirat. Kumpulkanlah antara kami dan orang-orang yang kami cintai di negeri kemuliaan-Mu dengan anugerah dan rahmat-Mu.”

Terjemahan: “Ya Allah, sempurnakanlah para pemimpin muslimin dan jadikanlah mereka berlaku adil terhadap rakyat mereka, berbuat baik kepada mereka, menunjukkan kasih sayang dan bersikap lemah-lembut kepada mereka serta memperhatikan maslahat-maslahat mereka. Jadikanlah mereka mencintai rakyat dan mereka dicintai rakyat. Jadikanlah mereka menempuh jalan-Mu dan mengamalkan tugas-tugas agama-Mu yang lurus.”

Terjemahan: “Ya Allah, berlembutlah kepada hamba-Mu penguasa kami dan jadikanlah dia memperhatikan maslahat-maslahat dunia dan akhirat. Jadikanlah dia mencintai rakyatnya dan jadikanlah dia dicintai rakyat.”

Dia membaca doa-doa lanjutan berkenaan dengan para pemimpin dan menambahkan sebagai berikut:

Terjemahan: “Ya Allah, rahmatilah diri dan negerinya, jagalah para pengikut dan tentaranya, tolonglah dia untuk menghadapi musuh-musuh

agama dan para penantang lainnya. Jadikanlah dia bertindak menghilangkan berbagai kemungkaran dan menunjukkan kebaikan-kebaikan serta berbagai bentuk kebajikan. Jadikanlah Islam semakin tersebar dengan sebabnya, muliakanlah dia dan rakyatnya dengan kemuliaan yang cemerlang.”

Terjemahan: “Ya Allah, perbaikilah keadaan kaum muslimin dan murahkanlah harga-harag mereka, amankanlah mereka di negeri-negeri mereka, lunasilah hutang-hutang mereka, sembuhkanlah orang-orang yang sakit diantara mereka, bebaskanlah mereka yang ditawan, sembuhkanlah penyakit hati mereka, hilangkanlah kemarahan hati mereka dan persatukanlah diantara mereka.

Jadikanlah iman dan hikmah dalam hati mereka, tetapkanlah mereka diatas agama Rasul-Mu saw. Ilhamilah mereka agar memenuhi janji-Mu yang Engkau berikan kepada mereka, tolonglah mereka dalam menghadapi musuh-Mu dan musuh mereka, wahai Tuhan Yang Maha Besar dan jadikanlah kami dari golongan mereka.”

Terjemahan: “Ya Allah, jadikanlah mereka menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mengamalkannya, mencegah dari yang mungkar dan menjauhinya, memelihara batas-batas-Mu, melakukan ketaatan kepada-Mu, saling berbuat baik dan menasihati.”

Terjemahan: “Ya Allah, jagalah dalam pendapat dan perbuatan mereka, berkatilah mereka dalam semua keadaan mereka.”

Orang yang berdoa hendaklah memulai dan mengakhiri doanya dengan ucapan:

Terjemahan: “Segala Puji bagi Allah Tuhan sekalian alam dengan pujian yang memadai dengan nikmat-nikmat-Nya dan sepadan dengan tambahan-Nya.

Ya Allah, limpahkanlah sholwat dan salam ke atas Muhammad dan keluarga (Penghulu Kami) Muhammad sebagaimana Engkau melimpahkan sholwat ke atas Ibrahim dan keluarganya.

Berkatilah (Penghulu kami) Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkati Ibrahim dan keluarganya. Di seluruh alam, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.”

Masalah kelima, apabila selesai dari pengkhataman Al-Qur’an, apabila selesai dari pengkhataman Al-Qur’an, disunahkan memualai lagi membaca Al-Qur’an sesudahnya. Para Ulama Salaf dan Kalaf telah menganjurkan hal itu. Mereka berhujah dengan hadits Anas ra bahwa Rasulullah saw bersabda:

Terjemahan: “Sebaik-baik amal adalah al-Hallu dan ar-Rahlah. Ditanyakan kepada baginda, ‘Apakah keduanya itu?’ Nabi saw menjawab, ‘Memulai membaca Al-Qur’an dan mengkhatamkannya’.”


==
BAB 6 ADAB DAN ETIKA MEMBACA AL-QUR’AN II BAB 6 ADAB DAN ETIKA MEMBACA AL-QUR’AN II Reviewed by suqamuslim on Mei 14, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar: